Friday, February 16, 2018

MENGAPA HARUS ZAKAT?

Buletin Kaffah_28_30 Jumada al-Ula 1439 H- 16 Februari 2018 M

Setelah triliunan rupiah dana haji milik umat dilirik untuk digunakan membiayai pembangunan infrastruktur, Pemerintah Jokowi kini membidik dana zakat. Sebagaimana disuarakan oleh Menteri Agama Lukman Saefudin baru-baru ini, Pemerintah berencana memungut zakat 2,5% dari gaji Aparatur Sipil Negeri (ASN). Menteri Agama beralasan, selama ini APBN dan APBD tidak cukup (Viva.co.id, 7/2/18). Menurut Menteri Agama pula, potensi zakat dari ASN bisa mencapai Rp 15 triliun pertahun (Http://www.inews.id, 7/2/18).

Rencana Pemerintah ini menuai kontra. Alasannya bermacam-macam. Salah satunya, secara syar’i tidak ada zakat atas gaji/penghasilan (zakat profesi) dalam Islam. Apalagi kebanyakan gaji ASN kecil. Belum lagi jika zakat penghasilan itu harus dipotong tiap bulan dari gaji ASN, yang tentu mengabaikan patokan nishâb dan haul.

Pertanyaannya: Mengapa bisa muncul gagasan tentang zakat profesi, termasuk zakat atas gaji/penghasilan ASN? Mengapa dana zakat pun disasar demi menutupi defisit APBN dan APBD di tengah kekayaan SDA kita yang melimpah-ruah, juga pungutan pajak yang menyumbang lebih dari 80% pemasukan APBN?


Mendudukkan Kembali Zakat

Secara syar’i zakat memiliki kedudukan yang kurang lebih sama dengan shalat, shaum, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Ia tidak termasuk ke dalam ranah ijtihadi, tetapi masuk dalam wilayah tawqîfî (harus diterima apa adanya). Pasalnya, sebagaimana bentuk ibadah lainnya, hukum terkait zakat tidak memiliki ‘illat apapun yang memungkinkan ia dapat di-qiyas-kan atau menerima ijtihad.

Sayangnya, fikih zakat saat ini berusaha terus dikembangkan dan dimodifikasi. Hasilnya, salah satunya, adalah munculnya istilah zakat profesi.

Selain itu praktik zakat saat ini telah diwarnai oleh bid’ah modern, yakni logika kapitalistik. Berdasarkan logika ini muncullah istilah zakat produktif. Dengan logika ini, zakat mesti dijadikan modal usaha agar si miskin tidak dididik untuk malas bekerja. Logika semacam ini bukan saja merendahkan martabat manusia, tetapi sekaligus menunjukkan sikap arogan kepada Allah SWT. Pasalnya, Allah SWT sendiri tidak mensyaratkan demikian. Apalagi manusia normal tak akan pernah malas bekerja dan bercita-cita menjadi pengangguran.

Masalahnya adalah kita hidup dalam sistem Kapitalisme yang tidak adil alias zalim, bahkan cenderung kejam. Bayangkan, di Indonesia  saja, menurut Bank Dunia, 10 persen orang terkaya menguasai 77 persen dari total kekayaan nasional, sementara 200 juta lebih penduduk lainnya hanya menikmati tak lebih dari 25 persen (Rmol.co, 23/3/17).


Di sisi lain, angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi. Pada bulan September 2017, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen) (Bps.go.id, 2/1/2018). Padahal berdasarkan penghitungan BPS, garis kemiskinan Indonesia pada September 2017 hanya sebesar Rp 387.160 (Kompas, 20/1/2018). Jika dibagi perhari, garis kemiskinan tersebut ada di angka Rp 12,905 perhari. Itu berarti, setiap orang yang pengeluaran perharinya lebih dari angka tersebut—katakanlah Rp 14 ribu perhari—sudah dianggap tidak miskin alias kaya. Padahal jelas, Rp 14 ribu perhari untuk makan sehari saja tidaklah cukup. Apalagi untuk biaya pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, transportasi, dll.


Potensi Pendapatan Melimpah di Luar Zakat

Di Indonesia khususnya, kemiskinan jelas bukan karena banyaknya orang-orang kaya yang tidak bayar zakat. Kemiskinan di Indonesia merupakan akibat dari penerapan ekonomi kapitalis yang zalim dan kejam. Penerapan ekonomi kapitalis ini telah mengakibatkan kekayaan milik rakyat—seperti hutan, minyak bumi, aneka tambang, dll—hanya dikuasai sekaligus dinikmati oleh segelintir orang aja. Mereka adalah para konglomerat dan pihak asing yang berkolaborasi dengan penguasa atas nama swastanisasi dan privatisasi.

Padahal dari harta kekayaan milik rakyat itu bisa dihasilkan ribuan triliun rupiah. Contoh, menurut Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, potensi total nilai ekonomi pada 11 sektor kelautan Indonesia diperkirakan sebesar 1,3 triliun dolar AS pertahun atau sekitar 1,4 kali PDB dan tujuh kali APBN 2016. Bahkan sektor ini bisa menyerap sekitar 45 juta orang atau sepertiga dari total angkatan kerja nasional (Republika.co.id, 16/11/2016).

Di sektor kehutanan, jika Pemerintah serius mengelola 60 juta hektar hutan yang telah rusak—di antaranya dengan reboisasi atau penghijauan kembali—akan didapat potensi pendapatan yang amat besar. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Agro Energi Indonesia (AEI) Jainal Pangaribuan, jika 10 juta hektar saja—dari total 60 juta hektar yang rusak—ditanami pohon aren, akan dihasilkan pendapatan sebesar Rp 1800 triliun pertahun (Rmol.co, 10/11/2016).

Lalu dari hasil tambang, hanya dengan memperhitungkan potensi pendapatan dari tambang emas di Bumi Papua saja, angkanya sangat luar biasa. Berdasarkan laporan tahunan Freeport McMoRan, tambang ini tercatat masih memiliki cadangan emas sebesar 28,2 juta ounces (sekitar 881,25 ton, 1 ounce = 28,35 gram) dan 29,0 miliar pounds tembaga (14,5 juta ton, 1 pound = 453,59 gram) (Kontan.co.id, 6/4/2016). Menurut analis tim Dunia-Energi.com, Freeport-McMoRan Inc diperkirakan mencatatkan pendapatan dari penjualan emas dan tembaga dari tambang Grasberg, Papua, sepanjang 2016 saja sebesar Rp 51,03 triliun (Http://www.dunia-energi.com, 30/1/2017). Angka ini lebih besar tiga kali lipat dari potensi zakat penghasilan dari ASN yang hanya Rp 15 triliun pertahun.

Semua potensi pendapatan di atas—itu belum memperhitungkan potensi pendapatan di banyak sektor lain—jelas sangat jauh melebihi potensi zakat secara nasional. Pasalnya, berdasarkan data penelitian dari Baznas Indonesia pada 2016, potensi zakat—tentu termasuk zakat profesi. red.—mencapai Rp 286 triliun (Republika.co.id, 29/11/2017). Angka ini kelihatan sangat besar. Namun jelas, angka sebesar itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ribuan triliun rupiah potensi pendapatan dari kekayan alam milik rakyat sebagaimana tergambar di atas.

Sayangnya, kini sebagian besar kekayaan alam milik rakyat itu telah lama diberikan oleh Pemerintah kepada pihak asing.


Seriuskah Pemerintah?

Jika Pemerintah serius ingin menambah pemasukan APBN yang dibutuhkan untuk mensejahterakan rakyat, tentu tak seharusnya Pemerintah membidik dana zakat. Zakat memang wajib dipungut dari para muzakki. Namun demikian, tidak berarti tujuan zakat adalah dalam rangka mengentaskan kemiskinan, apalagi sebagian dananya digunakan untuk pembangunan. Tujuan zakat semata-mata untuk menyucikan para pemilik harta. Ini sebagaimana firman Allah SWT:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang bisa membersihkan dan mensucikan mereka (TQS at-Taubah [9]: 103).

Adapun untuk mengatasi kemiskinan, juga untuk membiayai pembangunan, Islam memiliki mekanisme tersendiri. Salah satunya melalui kewajiban negara untuk mengelola harta milik umum (seperti sumberdaya alam/SDA) yang hasilnya sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Karena itulah harta milik umum haram diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing. Dasarnya antara lain riwayat penuturan Abyadh Bin Hammal  ra. bahwa: Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta tambang garam—menurut Ibnu al-Mutawakil—di Ma’rib dan beliau memberikan tambang itu kepada Abyadh. Namun, tatkala tambang garam itu telah diberikan, tiba-tiba seseorang di majelis berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang seperti air yang mengalir (baca: berlimpah, red.).” Mendengar itu Rasulullah saw. menarik kembali kepemilikan tambang tersebut dari Abyadh (HR Abu Dawud).

Hadis ini—selain beberapa nas lainnya—menjadi dasar keharaman negara menyerahkan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada individu, swasta apalagi asing.

Penerapan hadis di atas tentu membutuhkan penerapan syariah Islam secara kâffah oleh negara. Di sinilah pentingnya Khilafah. Pasalnya, hanya Khilafah yang bisa menerapkan syariah Islam secara kâffah, termasuk dalam pengelolaan kekayaan milik umum demi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahtreraan rakyat. Karena itu sungguh aneh dan naif jika masih ada orang yang membenci Khilafah dan mempersekusi para pengusungnya. []


Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالْكَلَإِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim bersekutu dalam kepemilikan tiga hal: air, padang gembalaan dan api (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

0 comments:

Post a Comment