• Bijak dalam bersosial media

    Mari perdalam agama islam secara kaffah/menyeluruh, hati-hati dalam copas dan share sosmed, ikuti pendapat ulama yang ikhlas dan benar.

  • Islam adalah agama yang Sempurna

    Kebenaran Islam tidak terbantahkan oleh kebenaran apapun,buktikan. Pelajari secara mendalam kepada ustad/ustazah yang benar dan ikhlas

  • Sosial Media bagaikan pisau bermata dua

    Mari gunakan sebaik-baiknya, cerdas dan arif dalam penggunaannya serta tidak menyalahi aturan islam

Wednesday, March 28, 2018

Khilafah Diantara 4 Skenario Dunia 2020

Kembalinya Khilafah Diantara 4 Skenario Dunia 2020

Oleh: Farid Wadjdi

Desember 2004 , National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020:

Davod World: Digambarkan bahwa 15 tahun ke depan Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.Pax Americana: Dunia masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Pax Americana-nya.

A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.

Cycle of Fear (Munculnya lingkaran ketakutan). Di dalam skenario ini, respon agresif pada ancaman teroris mengarah pada pelanggaran atas aturan dan sistem keamanan yang berlaku. Akibatnya, akan lahir Dunia ‘Orwellian’ ketika pada masa depan manusia menjadi budak  bagi satu dari tiga negara otoriter.

Lepas dari apa maksud di balik ditulisnya berbagai skenario ini, paling tidak, kembalinya  Khilafah Islam di kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang diperhitungkan kemungkinannya. Ironisnya, ada kaum Muslim yang justru berkata: Khilafah itu utopis.

Potensi Khilafah yang pertama adalah ideologinya. Khilafah Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas ideologi Islam. Ajaran Islam tidak sekadar agama ritual dan moral yang sifatnya individual saja; Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan.

Sebagai agama yang komprehensif, Islam mampu menjawab dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan manusia. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang berbeda. Tidak mengherankan kalau peradaban Islam pernah menjadi salah satu peradaban utama dunia. Daulah Khilafah Islam pernah memegang kendali hampir setengah bagian dunia.

Kemampuan memecahkan persoalan kehidupan dan menyatukan dunia  inilah yang membuat Khilafah Islam diperhitungkan. Potensi ideologi ini akan menjadi lebih mengkhawatirkan lagi bagi Barat mengingat negeri-negeri Islam memiliki potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat besar. Kalau Khilafah  Islam berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang  berarti Khilafah Islam juga memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat (50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium  yang tersebar di Dunia Islam (Zahid Ivan-Salam dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).

Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania, Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati posisi strategis ini, kebutuhan dunia akan wilayah kaum Muslim pastilah tinggi. Potensi penduduknya juga sangat besar, yakni lebih dari 1,5 miliar di seluruh dunia. Melihat potensi tersebut, wajar jika kehadiran Khilafah Islam ini dianggap sebagai tantangan, atau lebih tepatnya lagi, ancaman bagi peradaban Barat sekarang.

Potensi Khilafah Islam untuk memberikan alternatif bagi peradaban Barat pada masa datang akan semakin besar mengingat gagalnya peradaban kapitalis Barat dalam menciptakan dunia yang lebih aman, sejahtera, dan adil.

Khilafah yang akan tegak akan mampu berhadapan dengan peradaban kapitalis yang mulai membusuk. Khilafah tersebut akan menjadi negara yang kuat dan modern, yang akan mendesain masa depan kaum Muslim setelah mereka terbebas dari dominasi politik, militer, dan ekonomi Barat. Khilafah akan mengintegrasikan kekuatan Islam dengan ilmu pengetahuan. Pengintegrasian tersebut akan menyebabkannya mampu mendahului Barat dalam bidang inovasi, teknologi, dan penemuan-penemuan ilmiah.

Namun, tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalisme yang dominan saat ini, tidak berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di Timur Tengah saat ini.

Cara lain yang dilakukan Barat adalah mengaitkan gerakan Islam global yang ingin menegakkan Khilafah dengan terorisme. Dalam laporan NIC yang membuat empat skenario ini, upaya itu tampak jelas saat mengaitkan skenario tegaknya Khilafah dengan surat fiktif dari cucu Osama bin Laden kepada keluarga dekatnya pada tahun 2020 (Lihat: Mapping the Global Future, hlm. 83).

Lepas dari itu, tegaknya kembali Khilafah Islam, insya Allah, akan semakin dekat. Saat ini sebagian umat Islam semakin menyadari kewajiban untuk menegakkan Khilafah Islam. Kesadaran ini sudah menjadi gerakan yang mengglobal di seluruh dunia.

Peradaban Kapitalisme pun, sebagaimana bangkai, meskipun ditutupi dengan propaganda kebohongan, tetap saja semakin tercium baunya yang busuk dan menjijikkan. Mereka berbicara HAM, misalnya, tetapi mereka membantai ratusan ribu rakyat sipil di dunia atas nama HAM.

Sebaliknya, upaya Barat untuk melakukan propaganda negatif terhadap syariat Islam dan Khilafah pun tidak akan berhasil. Karena dorongan akidah Islam, kaum Muslim melihat bahwa syariat Islam dan Khilafah adalah kewajiban syariat. Mereka pun melihat secara gamblang bahwa pihak-pihak yang menyerang Khilafah adalah penjajah mereka.

Semua ini membuat kita optimis, bahwa Khilafah akan segera tegak; bukan tahun 2020, tetapi mudah-mudahan dalam waktu yang jauh lebih cepat. Kita harus tetap semangat memperjuangkan tegaknya Khilafah serta siap mengorbankan harta bahkan nyawa kita untuk perjuangan ini. Sebab, kita yakin, semua ini akan dibalas oleh Allah Swt. dengan surga. Allâhu akbar!

Monday, March 26, 2018

Mantra demokrasi yang menipu?

IKUT PEMILU, KUASAI PARLEMEN, TERAPKAN SYARIAT !


[Mantra Palsu yang Menipu]
Oleh: Nasrudin Joha

Judul tulisan ini adalah sepenggal mantra sesat, diantara banyaknya mantra jahat demokrasi, yang menipu dan menyesatkan pemahaman umat. Demokrasi, tidak ingin umat Islam absen dari hiruk pikuknya. Sebab, tanpa peran serta umat Islam demokrasi pasti limbung, roboh, jatuh bersimbah darah ditelan kekejaman sejarah.
Kenapa disebut mantra sesat ? Karena ujaran seperti tertulis dalam judul tulisan adalah seruan yang menyelisihi fakta. Coba kita bongkar satu per satu :
Pertama, mantra sesat ini membuat gambaran seolah-olah parlemen dan eksekutif saat ini mayoritas dikuasai kaum kafir. Sehingga, hipotesanya umat Islam harus ikut memilih dan menempatkan kader Islam agar mampu mewarnai dan menguasai bidak panggung demokrasi.
Nyatanya tidak demikian, sejak periode Soekarno, orde baru Soeharto hingga Orde Reformasi mayoritas Aleg adalah muslim. Eksekutif juga diwarnai pemain muslim, bahkan semua Presiden beragama Islam.
Meskipun demikian, tetap saja syariat Islam ditelantarkan. Tetap saja kepentingan umat Islam dipinggirkan. Tetap saja, hukum Allah SWT selalu diposisikan rendah, bahkan lebih rendah dari hukum warisan penjajah Belanda.
Kedua, ikut pemilu dan menguasai parlemen seolah menjadi kunci kekuasaan Islam dan sarana menegakan syariat Islam. Faktanya tidak demikian.
Ikut pemilu demokrasi hanya menjadi sarana untuk meraih kekuasaan. Siapa yang ikut pemilu, membuka peluang dirinya untuk berkuasa. Itu saja.
Tetapi, demokrasi tidak pernah membuka pintu -meskipun hanya satu inchi- untuk membiarkan syariat Islam masuk pemerintahan dan mengatur urusan kehidupan bernegara.
Kedaulatan rakyat dalam demokrasi, telah mengunci kedaulatan Allah SWT hanya ditempatkan ada sektor domestik, sektor privat. Syariat Islam hanya dilibatkan dalam urusan nikah, talak dan rujuk.
Sementara itu, untuk urusan mengelola tambang, mengelola sumber daya alam, mengelola sumber penerimaan negara, mengelola pelayanan publik, syariat Islam dipinggirkan.
Itulah sebabnya, betapapun pemilu dan Pilkada sudah dilakukan puluhan bahkan ratusan kali, tetap saja yang menguasai emas Papua adalah Freeport. Tetap saja tambang minyak dan batubara dikuasai swasta dan asing. Tetap saja kehidupan rakyat melarat. Tetap saja masih terjadi kasus busung lapar dan kurang gizi. Tetap saja negara Hutang riba hingga lebih dari 4000 T.
Ketiga, menolak terlibat dalam pemilu demokrasi dituding tidak sejalan dengan semangat perjuangan politik Islam. Faktanya, justru partai politik Islam yang terlibat demokrasi sering mengkhianati umat.
Saat umat menolak pemimpin kafir, partai justru berjibaku membelanya. Saat umat didzalimi dengan Perppu ormas, partai justru diam seribu bahasa -seraya tetap duduk manis dengan menikmati lezatnya kue kekuasaan, sambil-ongkang kaki di singgasana kekuasaan- membiarkan umat sibuk demo sendiri, sibuk aksi 212. Parpol Islam tidak urun apapun bahkan meskipun hanya urun suara.
Sesungguhnya jika Anda serius ingin syariat Islam ditegakkan maka jalannya bukan lewat demokrasi. Sesungguhnya, demokrasi telah membuat tipuan kekuasaan yang membuat para aktivis Islam "terpenjara dalam kubangan kekuasan" dan melupakan tugas mulia memerjuangkan syariat Islam.
Sesungguhnya demokrasi akan segera tersungkur, jika saja umat Islam serius bersama-sama meninggalkannya dan berkonsentrasi menegakkan sistem Islam.
Sesungguhnya revolusi Islam tidak akan pernah muncul dari mimbar-mimbar parlemen, atau ujaran diskusi forum demokrasi. Syariat Islam hanya akan tegak, jika umat ini meneladani Nabi SAW dalam menempuh jalan perjuangan.
Sesungguhnya Nabi SAW berkonsentrasi pada aktivitas dakwah untuk membina umat, berinteraksi dengan umat, mencari dukungan (Nusyroh) para ahli Nusyroh, dan pada saat yang Allah kehendaki, Nabi mendapat pertolongan sehingga dapat mendirikan daulah Islam yang pertama di Madinah.
Demikianlah, peta jalan jika umat ini ingin mengulangi kesuksesan dakwah nabi, menorehkan prestasi kegemilangan dengan menegakkan daulah Khilafah, hanya dengan jalan meneladani Thariqoh dakwah Nabi. [].

KHILAFAH satu / boleh banyak?

*PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA SUNNI SEPUTAR KESATUAN KHILAFAH _(WIHDAT AL-KHILAFAH)_ ATAU BERBILANGNYA IMAM _(TA’ADDUD AL-A`IMMAH)_**

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi**

*Pendahuluan*
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pendapat-pendapat ulama-ulama Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) seputar kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ atau berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_. Yang dimaksud dengan kesatuan Khilafah adalah adanya Khilafah yang satu (tunggal) bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Sedangkan yang dimaksud berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi adanya lebih dari satu orang imam atau khalifah sebagai kepala negara Khilafah.

Istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ dan berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ sesungguhnya memiliki makna yang sama, ibarat dua sisi mata uang. Karena memang telah terdapat dalil-dalil syar’i yang membicarakan dua sisi tersebut, yaitu dalil yang mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ di satu sisi, dan dalil yang melarang berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ di sisi lain. (Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman Al-Dumaiji, _Al-Imamah Al-’Uzhma ‘Inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah_, hlm. 564-566; Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_, hlm. 313-320; ‘Abdul ‘Aziz Al-Kayyath, _Al-Nizham Al-Siyasi fi Al-Islam_, hlm. 134-136).    

Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika para ulama telah menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian satu sama lain untuk makna yang sama. Sebagian ulama dalam kitab-kitabnya menggunakan istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_, seperti Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi dalam kitabnya _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_ (hlm. 313-dst). Semakna dengan istilah kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ ini adalah istilah kesatuan negara _(wihdat al-daulah)_ yang digunakan oleh Syekh Muhammad Ihsan Sammarah dalam kitabnya _Al-Nizham Al-Siyasi fi Al-Islam_ (hlm. 58). Sedang sebagian ulama lainnya menggunakan istilah berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_, seperti Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman Al-Dumaiji dalam kitabnya _Al-Imamah Al-’Uzhma ‘Inda Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah_ (hlm. 558-dst) dan Shalah al-Shawi dalam kitabnya _Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah_ (hlm. 75-77).

*Jumhur Ulama Sunni Mewajibkan Kesatuan Khilafah (Wihdat Al-Khilafah)*

Jumhur (mayoritas) ulama Sunni baik golongan ulama yang terdahulu (salaf) maupun ulama yang terkemudian (khalaf), telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_. Dengan perkataan lain, jumhur ulama Sunni tersebut telah berpendapat bahwa berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Memang ada sebagian ulama Sunni yang membolehkan berbilangnya imam, namun pendapat ini adalah pendapat yang _syadz_ (nyeleneh, menyempal) alias keluar dari pendapat _mainstream_ (arusutama) sebagai pendapat yang benar (haq). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fi Al-Islam_, hlm. 314; Shalah al-Shawi, _Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah,_ hlm. 75.).

Berikut ini sebagian ungkapan _(‘ibaarah)_ original dari ulama-ulama Sunni yang telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_ atau dengan kata lain yang melarang berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_;

1.Imam Mawardi (w. 450 H) dalam kitabnya _Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah_ berkata :

إذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما ، لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد ، وإن شذ قوم فجوزوه

“Jika diadakan akad Imamah (Khilafah)  bagi dua orang Imam (Khalifah) di dua negeri, maka tidaklah sah akad Imamah bagi keduanya, karena tidak boleh ada bagi umat Islam dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama, meskipun ada satu kaum yang berpendapat syadz (menyimpang) lalu membolehkan hal tersebut [adanya dua Imam].” (Imam Mawardi, _Al-Ahkam Al-Sulhaniyyah_, hlm. 9).

Dalam kitabnya yang lain, yaitu _Adab Al-Dunya wa Al-Diin,_ Imam Mawardi berkata :

وذهب الجمهور إلى أن إقامة إمامين في عصر واحد لا يجوز شرعا

“Jumhur ulama berpendapat bahwa mengangkat dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama hukumnya tidak boleh menurut syara’.” (Imam Mawardi, _Adab Al-Dunya wa Al-Diin,_ hlm. 150-151).

2.Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) berkata dalam kitabnya _Al-Muhalla_ :

ولا يحل أن يكون في الدنيا إلا إمام واحد

“Dan tidak halal ada di dunia ini kecuali satu orang Imam (Khalifah) saja.” (Ibnu Hazm, _Al-Muhalla_, Juz IX, hlm. 360).

Dalam kitabnya yang lain, yaitu _Maratib Al-Ijma’,_ Imam Ibnu Hazm berkata :  

واتفقوا أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان ، لا متفقان ولا مفترقان ، ولا في مكانين ولا في مكان واحد

“Dan mereka [para ulama] telah sepakat bahwa tidak boleh ada dua orang Imam (Khalifah) pada kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia, baik keduanya bersepakat maupun bertentangan, baik keduanya berada di dua tempat yang berbeda maupun berada di satu tempat yang sama.” (Ibnu Hazm, _Maratib Al-Ijma’_, hlm. 144).

3. Qadhi As-Simnaani (w. 499 H) dalam kitabnya _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_ berkata :

لا يجوز أن يتعدد الإمام في العصر

“Tidak boleh ada lebih dari satu orang Imam [Khalifah] pada waktu yang sama.” (Ali bin Muhammad As-Simnani, _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_, Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah, Cet. II, 1984, Juz I, hlm. 29).

4. Imam Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya yang berjudul _Syarah Al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim_ :  

اتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد ...

“Para ulama telah sepakat (ittifaq) bahwa tidak boleh ada akad untuk dua orang khalifah pada waktu yang sama...” (Imam Nawawi, _Syarah Al-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim_, Juz XII, hlm. 233).

Dalam kitab _Mughni Al-Muhtaj,_ karya Imam Syamsuddin Al-Khathib Al-Syirbini (w. 977 H), diriwayatkan perkataan Imam Nawawi dari kitab _Minhaj al-Thalibin_ sebagai berikut :

ولا يجوز عقدها لإمامين فأكثر ولو بأقاليم ولو تباعدت لما في ذلك من اختلاف الرأي وتفرق الشمل

“Tidak boleh akad Imamah (Khilafah) bagi dua orang Imam (Khalifah) atau lebih meskipun mereka berada di wilayah-wilayah [yang berbeda] atau berada di dua tempat yang berjauhan, sebab yang demikian itu adalah perpecahan pendapat dan terpecahnya kesatuan.” (Imam Syamsuddin Al-Khathib Al-Syirbini, _Mughni Al Muhtaj,_ Juz IV, hlm. 132).

5. Imam Syihabuddin Al-Qaraafi (w. 684 H) dalam kitabnya _Al-Dzakhiirah_ berkata :

إذا عقدت لاثنين ببلدين لم تنعقد إمامتهما لامتناع إمامين في وقت فقد قال صلى الله عليه وسلم : إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما

“Jika diadakan akad [Imamah/Khilafah] bagi dua orang [Imam] di dua negeri, maka tidak sah akad Imamah [Khilafah] keduanya, karena ada larangan adanya dua orang Imam [Khalifah] pada waktu yang sama, sesuai sabda Rasulullah SAW,’Jika dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (Imam Syihaabuddin Al-Qaraafi, _Al-Dzakhiirah_, Dar Al-Gharb Al-Islami, Cet. I, 1994, Juz X, hlm.26).

6. Imam Al-Iiji (w. 756 H) dalam kitabnya _Al-Mawaaqif fi ‘Ilm Al-Kalaam_ berkata :

لا يجوز العقد لإمامين في صقع...

“Tidak boleh akad [baiat] bagi dua orang Imam [Khalifah] di satu wilayah yang sama...” (Imam Abdurrahman bin Ahmad Al-Iiji, _Al-Mawaaqif fi ‘Ilm Al-Kalaam,_ Beirut : ‘Aalam Al Kutub, hlm. 400).

7. Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya _Tafsir Ibnu Katsir_ berkata :

فأما نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام : من أتاكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائنا من كان
“Adapun mengangkat dua orang Imam (Khalifah) atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang datang kepada kamu sedang urusan kamu terhimpun [di bawah satu Imam], sedang yang datang itu hendak memecah belah di antara kamu, maka bunuhlah dia siapapun juga dia itu.” (Imam Ibnu Katsir, _Tafsir Ibnu Katsir [Tafsir Al-Qur`an Al-’Azhim],_ Juz I, hlm. 222).

8. Imam Taftazani (w. 791 H) dalam kitabnya _Syarah Al-‘Aqa`id Al-Nasafiyyah_ berkata :

وغير جائزهو نصب إمامين مستقلين يجب إطاعة كل منهما على انفراد لما يلزم في ذلك من امتثال أحكام متضادة

“Adalah tidak boleh mengangkat dua orang Imam (Khalifah) yang masing-masing berdiri sendiri (independen) satu sama lain yang masing-masingnya sama-sama wajib ditaati. Karena hal itu akan mengharuskan ketaatan pada hukum-hukum yang bertentangan.” (Imam Taftazani, _Syarah Al-‘Aqa`id Al-Nasafiyyah,_ hlm. 158).

9. Imam Qalqasyandi (w. 821 H) berkata dalam kitabnya yang berjudul _Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya_ :

لا يجوز نصب إمامين في وقت واحد

“Tidak boleh mengangkat dua orang Imam (Khalifah) pada waktu yang sama.” (Imam Qalqasyandi, _Shubh Al-A’sya fi Shina’at Al-Insya,_ Juz IX, hlm. 288)

10. Imam Al-Sya’rani (w. 973 H) dalam kitabnya _Al-Mizan Al-Kubra_ berkata :

لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وَقْتٍ وَاحِدٍ فِيْ جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ

“Tidak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Imam al-Sya’rani, _Al-Mizan Al-Kubra,_ Juz II, hlm. 157).

11. Syekh Muhammad Al-Khudhori (w. 1345 H) dalam kitabnya _Itmam Al-Wafa` fi Sirat Al-Khulafa`_ :

وكذلك أجمع المسلمون على أنه لا يصح أن يكون لهم في عصر واحد خليفتان

“Demikian pula, kaum muslimin telah bersepakat (ijma’) bahwa tidaklah boleh  kaum muslimin mempunyai dua orang Khalifah (Imam) pada waktu yang sama...” (Syekh Muhammad Al-Khudhori, _Itmam Al-Wafa` fi Sirat Al-Khulafa`_, hlm. 20).  

12. Syekh Abdurrahman Al-Jaziri (w. 1360 H) dalam kitabnya _Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah_ berkata :

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ وَأَنَّهُ لاَ بُدَّ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ شَعَائِرَ الدِّيْنِ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُوْمِيْنَ مِنَ الظَّالِمِيْنَ وَعَلىَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ عَلىَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ وَقْتٍ وَاحِدٍ فِيْ جَمِيْعِ الدُّنْيَا إِمَامَانِ لاَ مُتَّفِقَانِ وَلاَ مُفْتَرِقَانِ

”Telah sepakat para imam [yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad] –semoga Allah merahmati mereka-- bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu; dan bahwa tak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang dizhalimi dari orang-orang zhalim; dan bahwa tak boleh kaum muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia mempunyai dua Imam (Khalifah), baik keduanya sepakat maupun bertentangan.” (Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, _Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah_, Juz V, hlm. 366).

14. Syekh Muhammad Al-Amiin Al-Syanqithi (w. 1393) dalam kitabnya _Adhwa` Al-Bayan fi Iidhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an_ berkata :

قول جماهير العلماء من المسلمين إنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم بل يجب كونه واحدا

“Pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan kaum muslimin, bahwa tidak boleh berbilang Imam [ada lebih dari satu orang Imam/Khalifah], bahkan wajib Imam itu satu orang saja.” (Muhammad Al-Amiin Al-Syanqithi, _Adhwa` Al-Bayan fi Iidhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an_, Juz I, hlm. 83).

Dari kutipan-kutipan pendapat ulama di atas, jelaslah bahwa jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan ulama Sunni berpendapat bahwa berbilangnya imam _(ta’addud al-a`immah)_ adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam. Dengan kata lain, jumhur ulama tersebut telah mewajibkan kesatuan Khilafah _(wihdat al-khilafah)_. Kesimpulan ini dengan tepat dinyatakan oleh Qadhi As-Simnaani (w. 499 H) dalam kitabnya _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_ sebagai berikut :

الإجماع من الجمهور على أن الإمام إنما يكون واحدا في العصر

“Telah terdapat ijma’ (kesepakatan) dari jumhur (mayoritas) ulama bahwa Imam [Khalifah] itu hanya boleh satu orang pada waktu yang sama.” (Ali bin Muhammad As-Simnani, _Raudhat Al-Qudhah wa Thariq An-Najah_, Beirut : Mu`assasah Ar Risalah, Cet. II, 1984, Juz I, hlm. 62).


*Dalil Pendapat Jumhur Ulama*

Kewajiban kesatuan Khilafah _(wihdat al-Khilafah)_ didasarkan dalil syar’i yang kuat, yaitu As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW).  Di antara dalil dari As-Sunnah, adalah sabda Nabi SAW :

إذا بويع لخليفتين، فاقتلوا الآخر منهما

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, _Shahih Muslim_, hadits no 1853).

Imam Nawawi dalam _Syarah Shahih Muslim_ memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :

إذا بويع الخليفة بعد خليفة، فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها و بيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها...وهذا هو الصواب الذي عليه جماهير العلماء
“Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah [sebelumnya], maka baiat untuk khalifah pertama hukumnya sah yang wajib dipenuhi. Sedang baiat untuk khalifah kedua hukumnya batal yang haram untuk dipenuhi...Inilah pendapat yang benar yang menjadi pendapat jumhur ulama.” (Imam Nawawi, _Syarah An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim,_ Juz XII, hlm. 231).

Adapun dalil Ijma’ Shahabat mengenai haramnya lebih dari satu khalifah _(ta’addud al-a`immah)_ bagi umat Islam, terwujud pada saat pertemuan para shahabat di Saqiifah Bani Saa’idah untuk membicarakan pemimpin umat pengganti Rasulullah SAW yang wafat. Pada saat itu, seorang shahabat dari golongan Anshar, yaitu Al-Hubab Ibnul Mundzir mengusulkan,”Dari kami seorang pemimpin, dari kalian seorang pemimpin.” Abu Bakar Shiddiq RA kemudian membantah perkataan Al-Hubab Ibnul Mundzir tersebut dengan berkata  :

أنه لا يحل أن يكون للمسلمين أميران

“Sesungguhnya tidaklah halal kaum muslimin mempunyai dua orang pemimpin.” (HR Al Baihaqi,  _Sunan Baihaqi_, Juz VIII, hlm. 145).

Perkataan Abu Bakar Shiddiq itu didengar oleh para shahabat dan tak ada satu orang pun shahabat Nabi SAW yang mengingkarinya, sehingga dengan demikian terwujudlah Ijma’ Shahabat bahwa umat Islam tidak boleh dipimpin kecuali oleh satu orang Imam (Khalifah) saja. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fil Al-Islam,_ hlm. 316; Ihsan Sammaarah, _Al-Nizham As-Siyasi fi Al-Islam [Nizham Al-Khilafah Al-Rasyidah],_ hlm. 57).

*Pendapat Yang Membolehkan Berbilangnya Imam*

Sebagian ulama ada yang membolehkan berbilangnya Khalifah/Imam _(ta’addud al-a`immah)_. Mereka mengatakan jika kedua Imam berada di dua tempat yang berjauhan, maka boleh mengangkat dua Imam.

Pendapat ini berdalil dengan sejumlah dalil-dalil akli _(hujjah ‘aqliyyah)_, di antaranya sebagai berikut :

*Pertama*, mengangkat dua khalifah boleh jika ada _hajat_ (kebutuhan) untuk mengangkat dua khalifah. Ini merupakan pendapat Abu Ishaq Isfarayini dan Imam Haramain.

*Kedua*, mengangkat dua khalifah boleh jika terdapat _masaafah_ (jarak) yang jauh di antara dua khalifah.  Ini pendapat Imam Haramain.

*Ketiga,* mengangkat dua khalifah boleh jika di antara dua Khalifah terdapat pemisah alami _(haajiz thabi’iy)_ seperti laut, atau ada musuh di antara keduanya, yang tidak mampu dikalahkan  oleh salah satu dari keduanya. Ini pendapat Abdul Qahir Al-Baghdadi. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, _Qawa’id Nizham Al-Hukm fil Al-Islam_, hlm. 313; Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al-Marakbi, _Al-Khilafah Al-Islamiyyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu’ashirah_, hlm. 65-67).

Namun pendapat yang membolehkan berbilangnya Imam _(ta’addud al-a`immah)_ ini tidak dapat diterima dengan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

*Pertama,* pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah _(ta’addud al-a`immah),_ hanya didukung oleh dalil akli, bukan dalil syar’i, baik ayat Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Padahal masalah yang dibahas adalah *hukum syar’i* yang dalilnya wajib berupa dalil syar’i, bukan dalil aqli. Dalam pembahasan hukum syar’i, dalilnya wajib dalil syar’i, bukan dalil aqli, sesuai dengan definisi hukum syar’i itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

الحكم الشرعي هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال العباد

“Hukum syar’i adalah khithaab (seruan/firman) dari Allah sebagai Pembuat Syariah yang berkaitan dengan perbuatan para hamba.” (Taqiyuddin Al-Nabhani, _Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah,_ Juz III (Ushul Fiqih), hlm. 37).

Yang dimaksud *Khithaabus Syaari’* adalah dalil syar’i, yaitu apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ dan Qiyas, bukan yang lain. Jadi dalil akli tidaklah dapat dianggap sebagai *Khithaabus Syaari’* yang menjadi dalil syar’i dari suatu hukum syar’i.

*Kedua,* pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah, pada sebagiannya, khususnya pendapat Al-Juwaini, Al-Isfaroyini, dan Al-Baghdadi, sebenarnya menunjukkan hukum dalam kondisi darurat _(rukhsah),_ seperti adanya lautan atau musuh yang memisahkan dua khalifah. Jadi pendapat tersebut bukan menunjukkan hukum asal _(‘aziimah)._

Artinya, sebenarnya pendapat yang membolehkan lebih dari satu khalifah itu, mengakui hukum asal _(‘aziimah)_ yang ada, yaitu wajibya kesatuan Khilafah (wihdatul Khilafah) dan haram Khilafah lebih dari satu (berbilang). Syekh Al-Marakby menganalisis pendapat tersebut dengan berkata :

فالأصل عدم جواز التعدد فإذا استدعت الضرورة ذلك جاز..فالتعدد محظور أصلا أباحته الضرورة فإذا زالت الضرورة حرم التعدد

“[Pendapat yang membolehkan berbilangnya Khilafah tersebut] hukum asalnya sebenarnya tak membolehkan berbilangnya Khilafah. Jika kondisi darurat mengharuskan berbilangnya Khilafah, barulah boleh ada lebih dari satu Khilafah. Jadi berbilangnya Khilafah hukum asalnya haram, yang dibolehkan oleh kondisi darurat. Maka jika kondisi darurat ini lenyap, haram hukumnya Khilafah lebih dari satu.” (Jamal Ahmad Sayyid Jaad Al-Marakbi, _Al Khilafah Al Islamiyyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu’ashirah_, hlm. 65-66)

*Ketiga,* pendapat yang mewajibkan kesatuan Khilafah (wihdat al-khilafah), didukung oleh dalil-dalil syar’i yang sangat kuat dari As Sunnah dan Ijma’ Shahabat, seperti telah diuraikan di atas.

*Kesimpulan*
Dari seluruh uraian dia atas dapat diambil 2 (dua) kesimpulan penting :

*Pertama*, jumhur (mayoritas) ulama Sunni baik golongan ulama yang terdahulu (salaf) maupun ulama yang terkemudian (khalaf), telah mewajibkan kesatuan Khilafah (wihdat al-khilafah). Dengan perkataan lain, jumhur ulama Sunni tersebut telah berpendapat bahwa berbilangnya imam (ta’addud al-a`immah) adalah kondisi yang tidak diperbolehkan menurut syariah Islam.

*Kedua,* pendapat yang membolehkan berbilangnya imam (ta’addud al-a`immah) adalah pendapat yang lemah dan *syadz*, yang hanya didukung oleh dalil akli, dan tidak didukung oleh dalil-dalil syar’i yang kuat dan mu’tabar, yaitu Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. _Wallahu a’lam._

= = = =
*Makalah disampaikan dalam Pengajian Bapak-Bapak, pada hari Senin 26 Maret 2018, di Musholla Al-Husna, Suryodiningratan, Kec. Mantrijeron, Yogyakarta.
**Dosen Ushul Fiqih STEI Hamfara Yogyakarta.

Sunday, March 18, 2018

Cara mudah Menghafal Nama Surat Alquran Metode

Yuk menghafal nama2 surah 😊😊💙💙


Cara Menghafal Nama-nama Surat dalam Alquran Metode Otak Kanan (Intuiting Dan Feeling)

Baca cerita-cerita di bawah ini, dan perhatikan kata-kata yang BERHURUF BESAR.

Kata² tersebut adalah nama² surat dalam Alquran.
Hafalkan ceritanya, dan kemudian tuliskan kata-kata tersebut secara berurut.
Maka akan kita dapatkan NAMA SURAT dan NOMOR URUTNYA.

Silahkan mencoba :

🍀Cerita I ; (Surah 1 – 10)

Paman membaca AL FATIHAH sebelum memasak SAPI BETINA milik KELUARGA IMRAN yg punya anak WANITA.
Sebagian HIDANGAN itu diberikan untuk BINATANG TERNAK.
Kemudian paman menuju TEMPAT² YANG TINGGI, untuk mencuri HARTA RAMPASAN PERANG.
Namun akhirnya paman ber-TAUBAT seperti taubatnya Nabi YUNUS.

NO.KRONOLOGI CERITA

1.AL-FATIHAH
2.SAPI BETINA – AL-BAQOROH
3.KELUARGA IMRAN – ALI IMRON
4.WANITA~AN NISA
5.HIDANGAN – AL MAIDAH
6.BINATANG TERNAK – AL AN ‘AM
7.TEMPAT2 YG TINGGI – AL A’ ROF
8.HARTA RAMPASAN PERANG – AL ANFAL
9.TAUBAT – AT TAUBAH
10.YUNUS

🍀Cerita II; (Surah 11 – 20)

HUD & YUSUF melihat PETIR.
Sementara itu IBRAHIM sedang berada di PEGUNUNGAN HIJR.
Ia mencari LEBAH, untuk kemudian memulai PERJALANAN MALAM menuju ke GUA untuk menemui MARYAM dan TOHA.

NO.KRONOLOGI CERITA

11.HUD
12.YUSUF
13.PETIR – AR RA’D
14.IBRAHIM
15.PEGUNUNGAN HIJR – AL HIJR
16.LEBAH – AN NAHL
17.PERJALANAN MALAM – AL ISRO
18.GUA – AL KAHFI
19.MARYAM
20.TOHA

🍀Cerita III ; (Surah 21 – 30)

PARA NABI pergi HAJI diikuti oleh ORANG² BERIMAN.
Mereka seperti CAHAYA.
Inilah yg menjadi PEMBEDA ANTARA YG BENAR & BATHIL. Sementara itu, PARA PENYAIR bercerita tentang SEMUT.
Cerita itu terangkum dalam buku KISAH².
Dalam buku itu juga diceritakan tentang LABA² yang menyerang BANGSA ROMAWI.

NO.KRONOLOGI CERITA

21.PARA NABI – AL ANBIYA
22.HAJI – AL HAJJ
23.ORANG2 BERIMAN-AL
MU’MINUN
24.CAHAYA – AN NUR
25.PEMBEDA ANTARA YG BENAR & BATHIL – AL FURQON
26.PARA PENYAIR – ASY SYU ‘ARO
27.SEMUT-AN NAML
28.KISAH2 – AL QOSHOSH
29.LABA2 – AL ‘ANKABUT
30.BANGSA ROMAWI – AR RUM

🍀Cerita IV ; (Surah 31 – 40)

LUKMAN tidak berSUJUD bersama GOLONGAN-GOLONGAN YANG BERSEKUTU melawan Nabi dan tidak juga bersama kaum SABA’.
Sementara itu FATHIR & YASIN berdiri bersama orang YANG BERSHAF-SHAF & membentuk huruf SHOD.
Mereka termasuk ROMBONGAN² yang memohon ampunan kpd YANG MAHA PENGAMPUN.

NO.KRONOLOGI CERITA

31.LUKMAN – LUQMAN
32.SUJUD – AS SAJDAH
33.AL AHZAB --> GOLONGAN-GOLONGAN YANG BERSEKUTU
34.SABA’
35.FATHIR
36.YASIN
37.YANG BERSHAF²– ASH
SHOOFFAT
38 SHOD
39.ROMBONGAN² – AZ ZUMAR
40.YANG MAHA PENGAMPUN – GHOFIR

🍀Cerita V; (Surah 41 – 50)

YG DIJELASKAN dalam MUSYAWARAH itu adalah ttg PERHIASAN.
Bukan ttg KABUT.
Sementara itu banyak orang YG BERLUTUT di BUKIT² PASIR. Sa'at itulah MUHAMMAD mendapat KEMENANGAN.
Hal ini ditandai dengan KAMAR² bertuliskan huruf QOF.

NO.KRONOLOGI CERITA

41.YG DIJELASKAN – FUSHSHILAT
42.MUSYAWARAH – ASY SYURA
43.PERHIASAN – AZ ZUKHRUF
44.KABUT – AD DUKHAN
45.YG BERLUTUT – AL JATSIYAH
46.BUKIT2 PASIR – AL AHQOF
47.MUHAMMAD – MUHAMMAD
48.KEMENANGAN – AL FATH
49.KAMAR2– AL HUJURAT
50.QOF

🍀Cerita VI ; (Surah 51 – 60)

ANGIN YG MENERBANGKAN membawa awan ke bukit THURSINA.
Ini terjadi sa'at BINTANG & BULAN bersinar.
Sementara itu pak RAHMAN sedang berceramah tentang HARI KIAMAT. Dimana BESI hancur, WANITA YG MENGAJUKAN GUGATAN mengalami PENGUSIRAN, dan banyak PEREMPUAN YG DIUJI.

NO.KRONOLOGI CERITA

51.ANGIN YG MENERBANGKAN –
ADZ DZARIYAT
52.THURSINA – ATH THUR
53.BINTANG – AN NAJM
54.BULAN – AL QOMAR
55.AR RAHMAN
56.HARI KIAMAT – AL WAQI ‘AH
57.BESI – AL HADID
58.WANITA YG MENGAJUKAN
GUGATAN – AL MUJADILAH
59 PENGUSIRAN – AL HASYR
60.PEREMPUAN YG DIUJI – AL
MUMTAHANAH

🍀Cerita VII ; (Surah 61 – 70)

BARISAN orang beriman pada HARI JUM’AT berbeda dg ORANG2 MUNAFIK.
Demikian juga pd HARI DITAMPAKKAN KESALAHAN².
Ketika aku di-TALAK, aku MENGHARAMKAN dia untuk masuk rumah ini. KERAJAAN yg indah, PENA yg mahal, pada HARI KIAMAT tidak lagi berharga.
Disinilah TEMPAT² NAIK bagi amal sholih.

NO.KRONOLOGI CERITA

61.BARISAN – ASH SHOF
62.HARI JUM’AT – AL JUMU’AH
63.ORANG2 MUNAFIK – AL MUNA FIQUN
64.HARI DITAMPAKKAN KESALAHAN² – AL TAGHOBUN
65.TALAK – ATH THOLAQ
66.MENGHARAMKAN – AT TAHRIM
67.KERAJAAN – AL MULK
68.PENA – AL QOLAM
69.HARI KIAMAT – AL HAAQQAH
70.TEMPAT² NAIK – AL MA ‘ARIJ

🍀Cerita VIII ; (Surah 71 – 80)

NUH diganggu JIN disa'at ORANG YG BERSELIMUT dan ORANG YANG BERKEMUL tertidur pulas.
Ia tidak menyadari datangnya KIAMAT.
Sementara itu, ketika MANUSIA bertemu dengan MALAIKAT YANG
DIUTUS untuk menyampaikan BERITA BESAR ttg kematian, MALAIKAT² YANG MENCABUT nyawa sedang melihat IA BERMUKA MASAM.

NO.KRONOLOGI CERITA

71.NUH – NUH
72.JIN – AL JINN
73.ORANG YG BERSELIMUT – AL MUZAMMIL
74.ORANG YG BERKEMUL – AL MUDATSTSIR
75.KIAMAT – AL QIYAMAH
76.MANUSIA – AL INSAN
77.MALAIKAT YG DIUTUS – AL MURSALAT
78.BERITA BESAR – AN NABA’
79.MALAIKAT2 YG MENCABUT – AN NAZI ‘AT
80.IA BERMUKA MASAM – ‘ABASA

🍀Cerita IX ; (Surah 81 – 90)

Ombak MENGGULUNG, bumi TERBELAH, ORANG² YG
CURANG pun ikut TERBELAH.
Mereka seperti GUGUSAN BINTANG YANG DATANG DI MALAM HARI. Mereka berada di tempat YG PALING TINGGI.
Pada HARI PEMBALASAN tidak akan muncul FAJAR di NEGERI manapun.

NO.KRONOLOGI CERITA

81.MENGGULUNG – AT TAKWIR
82.TERBELAH – AL INFITHOR
83.ORANG2 YG CURANG – AL MUTHOFFIFIN
84.TERBELAH – AL INSYIQOQ
85.GUGUSAN BINTANG – AL BURUJ
86.YG DATANG DI MALAM HARI – ATH THORIQ
87.YG PALING TINGGI – AL A ‘LA
88.HARI PEMBALASAN – AL GHOSYIYAH
89.FAJAR – AL FAJR
90.NEGERI – AL BALAD

🍀Cerita X; (Surah 91 – 100)

MATAHARI tenggelam sa'at MALAM tiba.
Dan ketika WAKTU DHUHA, Allah MELAPANGKAN rizki & menumbuhkan BUAH TIN.
Sementara itu manusia yg berasal dari SEGUMPAL DARAH tidak mempunyai KEMULIAAN sedikit pun.
Ini adalah BUKTI akan terjadi KEGONCANGAN di dunia.
Hingga KUDA PERANG YG BERLARI KENCANG pun mati.

NO.KRONOLOGI CERITA

91.MATAHARI – ASY SYAMS
92.MALAM – AL LAIL
93.WAKTU DHUHA – ADH DHUHA
94.MELAPANGKAN – AL INSYIROH
95.BUAH TIN – AT TIN
96.SEGUMPAL DARAH – AL ‘ALAQ
97.KEMULIAAN – AL QODR
98.BUKTI – AL BAYYINAH
99.KEGONCANGAN – AZ ZALZALAH
100.KUDA PERANG YG BERLARI KENCANG – AL`ADIYAT

🍀Cerita XI ; (Surah 101 – 110)

HARI KIAMAT, hari dimana manusia tidak bisa lagi BERMEGAH-MEGAHAN.
Pada MASA itulah si PENGUMPAT mati diinjak-injak GAJAH.
Sementara itu SUKU QURAISY bertengkar dg pak MA’UN di tepi telaga KAUTSAR.
Saat itu ORANG2 KAFIR tidak m'dapatkan PERTOLONGAN.

NO.KRONOLOGI CERITA

101.HARI KIAMAT– AL QORI ‘AH
102.BERMEGAH-MEGAHAN – AT TAKATSUR
103.MASA – AL ‘ASHR
104.PENGUMPAT – AL HUMAZAH
105.GAJAH – AL FI-L
106.SUKU QURAISY – QURAISY
107.MA’UN – AL MA ‘UN
108.KAUTSAR – AL KAUTSAR
109.ORANG2 KAFIR – AL KAFIRUN
110.PERTOLONGAN – AN NASHR

🍀Cerita XII (Surah 111-114)

Insya Allah 4 surat terakhir ini semua dari kita sudah m'hafalnya.

NO.SURAT

111.AL LAHAB
112.AL IKHLASH
113.AL FALAQ
114.AN NAAS

Semoga bermanfaat...❤😊👍
https://t.me/MajlisAsSalam












Metode dan Cara MEMENANGKAN ISLAM

*“THARIQAH” DAN “USLUB” UNTUK MEMENANGKAN ISLAM*

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Soal:

_Menjelang pemilu/pilkada banyak pihak berdalih dengan berbagai dalil, agar kaum Muslim menggunakan hak pilihnya demi memenangkan calon tertentu. Mulai dari kasus Nabi Yusuf menjadi menteri di Mesir, diamnya Nabi terhadap Najasyi dan Tufail bin ‘Amru ad-Dausi saat menjadi pemimpin kaumnya, sementara mereka tidak menerapkan Islam, hingga hilf al-fudhul, dan lain-lain. Bagaimana tanggapan Ustadz?_

Jawab:

*Pertama*, Islam adalah agama, sekaligus ideologi. Islam tidak hanya mengajarkan ritual, spiritual dan akhlak, tetapi juga mengajarkan sistem yang mengatur kehidupan manusia. Mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, sanksi hukum dan sebagainya.

Islam juga tidak hanya menjelaskan semuanya tadi sebagai konsepsi kehidupan (majmu’ al-mafahim ‘an al-hayat), tetapi juga bagaimana semuanya itu diterapkan, dipertahankan dan diemban. Karena itu, Islam tidak hanya menjelaskan fikrah, tetapi juga thariqah.

*Kedua*, diakui atau tidak, pemahaman tentang thariqah ini telah lama hilang dari umat Islam, termasuk para ulama’nya, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat dari Allah.

Karena itu, mereka tidak paham, mana hukum yang merupakan thariqah, dan mana yang tidak? Karena, mereka tidak mempunyai standar tentang thariqah itu seperti apa?

Akibatnya, mereka menggunakan demokrasi sebagai thariqah dalam meraih kekuasaan, padahal demokrasi merupakan sistem Kufur. Mereka juga tidak bisa membedakan uslub dengan thariqah, sehingga dengan berbagai dalih, mengubah hukum pemilu yang “mubah”, bahkan “haram”, menjadi wajib untuk kepentingan mereka. Di sisi lain, ada juga yang menggunakan doa sebagai thariqah, padahal doa bukan merupakan hukum thariqah.

Ada juga yang menggunakan jihad sebagai thariqah untuk meraih kekuasaan. Jihad memang hukum Islam, dan termasuk thariqah, tetapi bukan thariqah untuk meraih kekuasaan. Nah, semuanya ini membuktikan, hilangnya pemahaman umat, termasuk para ulama’nya, tentang thariqah ini.

Karena itu, penting dijelaskan tentang apa itu thariqah, dan apa bedanya thariqah dengan uslub? Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, Mafahim Hizb at-Tahrir, telah menjelaskan thariqah dan uslub sebagai berikut:

1⃣ *Thariqah* adalah hukum syara’ yang bersifat tetap, tidak berubah, dalam kondisi apapun, karena memang hukumnya wajib, bukan sunah apalagi mubah. Hukum tersebut terkait dengan perbuatan fisik, yang menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik. Contoh, doa merupakan hukum Islam, juga merupakan aktivitas fisik, tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat fisik, maka doa bukan merupakan thariqah untuk mengubah keadaan. Karena itu, tidak cukup mengubah negeri kaum Muslim hanya dengan berdoa. Begitu juga menurunkan nilai tukar dolar terhadap rupiah tidak cukup dengan berdoa. Meski orang yang berdakwah dan berjuang untuk mengubah keadaan harus selalu berdoa, dan meminta pertolongan kepada Allah SWT.

2⃣ *Uslub* adalah hukum syara’ yang dituntut oleh situasi dan kondisi. Karena itu, hukumnya mubah, tidak wajib. Kadang digunakan, kadang tidak, bergantung siatuasi dan kondisinya.
Pemilu adalah contohnya. Ketika Nabi saw. baru mengenal para sahabat Anshar, uslub pemilihan ini digunakan, karena baginda saw. belum mengenal siapa-siapa Nuqaba’ di antara mereka. Contoh lain longmach, konferensi, muktamar, seminar, rapat akbar adalah uslub untuk membentuk opini umum di tengah-tengah umat termasuk ahl an-nushrah, yang lahir dari kesadaran umum.

*Ketiga*, bahwa kemenangan umat Islam semata karena pertolongan Allah SWT. Pertolongan Allah SWT. itu diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Ini adalah janji yang pasti dari Allah SWT. Karena itu, ini harus menjadi keyakinan kita. Allah berfirman:

﴿وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ﴾

“Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Q.s. al-Anfal [08]: 10]

Nabi saw. dan para sahabat pernah diberi pelajaran oleh Allah, ketika mereka mulai silau dengan jumlah mereka saat Perang Hunain. Allah berfirman:

﴿لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ ﴾

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (orang Mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai..” [Q.s. at-Taubah [09]: 25]

Karena itu, kemenangan bukan karena jumlah. Termasuk jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu. Tetapi, semata-mata karena pertolongan Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat yang sama:

﴿إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ﴾

“Kalaupun saja kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah pasti menolongnya..” [Q.s. at-Taubah [09]: 40]

Artinya, Allah bisa memenangkan Nabi saw. sendiri tanpa pertolongan siapapun. Andai saja mereka tidak mau menolong baginda saw. untuk memenangkan agama-Nya, maka Allah SWT pasti memenangkannya. Menariknya, Q.s. at-Taubah ini turun pada tahun ke-9 H, saat seluruh Jazirah Arab sudah tunduk kepada Nabi saw. Sedangkan peristiwa yang dituturkan adalah peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu. Semuanya ini untuk mengingatkan Nabi saw. dan para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim, agar mereka tidak melupakan sedikitpun fakta, bahwa kemenangan mereka itu hakikatnya karena pertolongan Allah semata. Bukan karena kehebatan mereka, juga bukan karena jumlah mereka.

Karena itu, ketika ada para aktivis yang berjuang untuk meraih kemenangan, yang konon untuk Islam, lalu mereka mati-matian mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, sambil menghalalkan “demokrasi” yang diharamkan oleh Allah, dan membolehkan orang Kafir menjadi penguasa, pasti mereka tidak pernah mendapatkan kemenangan yang dijanjikan oleh Allah. Tidakkah cukup, kasus Mursi di Mesir, Hamas di Palestina, FIS di Aljazair yang menang dalam pemilu, tapi akhirnya tidak meraih kemenangan yang diharapkan, menjadi pelajaran bagi mereka?

*Keempat*, memang benar, kemenangan semata datangnya dari Allah. Kemenangan adalah janji Allah. Tetapi, Allah SWT. juga tidak akan memberikan kemenangan kepada orang yang tidak melakukan apapun. Hanya saja, apa yang dilakukan untuk meraih kemenangan yang dijanjikan Allah harus sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Karena itu, harus berjuang dengan sungguh-sungguh dan seratus persen.

Dalam konteks kekuasaan, Nabi saw. telah menggariskan thariqah yang khas. Mengikutinya hukumnya wajib, dan jika diikuti, hasilnya pun pasti. Thariqah itu adalah membina umat untuk membentuk jamaah, dan menyiapkan mereka, sehingga mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sahih.

Setelah dibina, dibentuk dan disiapkan, mereka melakukan interaksi di tengah-tengah umat agar umat menerima dan menjadikan ideologi mereka menjadi ideologi umat. Baru setelah semuanya itu siap, umatlah yang akan memberikan kekuasaan kepada mereka, melalui ahl an-nushrah. Ahl an-nushrah pun memberikan nushrah, setelah paham dan yakin dengan ideologi mereka. Karena itu, thalab an-nushrah merupakan satu-satunya thariqah Rasulullah saw. dalam meraih kekuasaan. Bukan yang lain.

Nushrah yang diberikan kepada Nabi saw. pun tanpa syarat, apalagi syarat yang menyalahi hukum syara’. Itulah yang dilakukan oleh kaum Anshar, ketika mereka memberikan nushrah kepada Nabi saw. saat Bai’at Aqabah II. Mereka betul-betul ikhlas memberikan kekuasaan kepada Nabi saw. tanpa imbalan apapun. Karena itu, Nabi saw. pun menerima nushrah dari mereka. Berbeda, ketika Nabi saw. hendak diberi nushrah oleh Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang mensyaratkan kekuasaan setelah Nabi saw. harus diserahkan kepada mereka, maka nushrah ini pun serta merta ditolak oleh Nabi saw.

*Kelima*, mengenai dalih sebagian orang atau kelompok, bahwa boleh saja menggunakan demokrasi, dan terlibat dalam sistem Kufur, karena beberapa alasan:

*Pertama*, Nabi saw. membiarkan Tufail bin ‘Amru ad-Dausi dan Najasyi tidak menerapkan hukum Islam kepada kaumnya. *Kedua* kasus hilf al-fudhul yang terjadi sebelum Nabi saw. diutus menjadi Nabi. *Ketiga*, kasus Nabi Yusuf menjadi menteri di Mesir.

Jawabannya, sebagai berikut:

1- Thufail bin ‘Amru ad-Dausi berasal dari suku Daus di barat daya Jazirah Arab, yang sangat jauh dari Makkah. Menurut al-Baghawi, “Saya kira, beliau menetap di Syam.” Ibn Hibban menuturkan, beliau masuk Islam di tangan Nabi saw. saat masih di Makkah. Setelah itu, kembali kepada kaumnya untuk mendakwahkan Islam. Ketika itu, hanya ayahnya dan Abu Hurairah yang masuk Islam. Setelah mendengar berita Nabi saw. di Madinah, beliau mengajak 75 lelaki dari kaumnya. Mereka semuanya telah masuk Islam.

Mereka, termasuk Abu Hurairah, bertemu Rasulullah di Khaibar, setelah Peristiwa Hudaibiyyah. Beliau melaporkan kepada Nabi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya suku Daus telah menolak [dakwah], maka doakan kepada Allah agar dilaknat.” Maka, baginda saw. berdoa, “Ya Allah, berilah hidayah kepada suku Daus.” Beliau mengikuti Umrah Qadha’ tahun ke-7 H, dan Penaklukan Kota Makkah.

Karena itu, fakta Thufail adalah fakta pengemban dakwah yang berjuang mengislamkan kaumnya, bukan fakta penguasa yang dibiarkan oleh Nabi saw. tidak menerapkan Islam. Ini tampak dari doa Nabi saw. di atas. Selain itu, negeri beliau juga jauh dari negeri dan jangkauan Nabi saw. berada.

Sedangkan diamnya Nabi saw. yang dihukumi sebagai taqrir, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, harus: (1) sebelumnya dilarang; (2) diketahui oleh Nabi, misalnya dikerjakan di hadapan Nabi, atau terjadi pada zaman baginda saw, dan baginda mengetahuinya; (3) Nabi saw. bisa mengingkari, yaitu bisa mencegah pelakunya, tetapi tidak diingkari atau dicegah. Karena itu, dalam konteks ini, diamnya Nabi tidak bisa dinyatakan sebagai taqrir, karena wilayahnya di luar jangkauan Nabi. Lalu, bagaimana mungkin Nabi saw. dianggap mendiamkan sesuatu yang seharusnya bisa diingkari, sementara wilayahnya di luar jangkau Nabi?

2- Karena itu, hal yang sama juga berlaku untuk Raja Najasyi yang berada di Habasyah, Ethiopia. Kalaulah Nabi saw. dianggap mendiamkan Raja Najasyi tidak menerapkan hukum Islam, maka diamnya Nabi saw. dalam kasus ini juga tidak bisa disebut sebagai taqrir. Di sisi lain, posisi Najasyi sebagai Muslim, meski sebagai penguasa, tetapi berada di luar otoritas wilayah Negara Islam, sehingga hukum yang sama tidak bisa diberlakukan di wilayahnya, kecuali jika diterima oleh rakyatnya. Dalam hal ini Allah berfirman:

﴿فَإِن جَاءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ﴾

“Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka.” [Q.s. al-Maidah: 42]

Ayat ini memberikan opsi, bagi orang yang tinggal di luar wilayah Negara Islam, jika datang ke wilayah Negara Islam meminta dihukum dengan hukum Islam, bisa diterim atau ditolak. Karena dia bukan warga Negara Islam. Tetapi, bagi warga Negara Islam tidak ada opsi lain, kecuali menerapkan hukum Islam. Dalam kasus Raja Najasyi, maka mafhum mukhalafah ayat ini juga bisa digunakan, sehingga kalaupun didiamkan oleh Nabi saw. tidak menerapkan sistem Islam secara kaffah, itu termasuk pengecualian, karena beliau tinggal di luar wilayah Negara Islam.

Seperti, diamnya Nabi saw. terhadap orang Kristen dan Yahudi dengan keyahudian mereka, bukan berarti persetujuan baginda saw. terhadap kekufuran mereka, tetapi karena itu merupakan pengecualian yang diberikan oleh Islam kepada mereka.

Selain itu, mengenai Raja Najasyi yang tidak bisa menjalankan hukum Islam, ada dua versi riwayat. Riwayat yang dinukil Ibn Taimiyyah, tanpa menyebut sumbernya, bahwa Raja Najasyi tidak bisa mengerjakan shalat, puasa dan zakat.

Sedangkan riwayat kedua, dituturkan oleh Qatadah dan ‘Atha’, bahwa beliau mengerjakan shalat menghadap Baitul Maqdis hingga wafatnya. Najasyi sendiri adalah gelar untuk Raja Habsyah, bukan nama orang. Dalam beberapa riwayat, nama Raja Najasyi yang masuk Islam adalah Ashhamah. Nabi saw. pun mengetahui beliau wafat dari malaikat Jibril, kemudian menshalatkannya bersama sahabat dengan shalat gaib.

3- Mengenai hilf al-fudhul yang terjadi ketika Nabi saw. belum diutus menjadi Nabi dan Rasul. Ketika usia baginda saw. baru 15 tahun. Saat itu, ada pria dari Zubaid, wilayah Yaman, datang ke Makkah membawa barang. Barangnya dibeli oleh al-‘Ash bin Wa’il, tetapi tidak dibayar. Singkat kata, pria ini kemudian berdiri di Ka’bah meminta tolong.

Bani Hasyim, Bani Zuhrah, Bani Taim bin Murrah akhirnya teranggil, dan berkumpul di rumah ‘Abdullah bin Jud’an. Mereka bersatu untuk melawan kezaliman al-‘Ash bin Wa’il, dan mengembalikan hak pria malang ini. Misi ini pun berhasil. Setelah menjadi Nabi, baginda saw. bersabda, “Aku telah menyaksikan pakatan bersama pamanku di rumah ‘Abdullah bin Jud’an. Betapa aku lebih menyukainya, ketimbang unta merah.” [Hr. Ahmad]. Konteks pakatan ini adalah menghilangkan kezaliman, yang hukumnya wajib.

 Konteks menghilangkan kezaliman ini tidak bisa digeneralisasi untuk membentuk koalisi pemerintahan, atau terlibat dalam sistem Kufur. Sebab, jika digeneralisasi,pasti akan bertabrakan dengan dalil-dalil lain.

4- Tentang Nabi Yusuf ‘alaihi as-salam, jika ada klaim, seolah Nabi Yusuf memerintah dengan menggunakan hukum Kufur, maka klaim ini merupakan kebohongan atas nama Allah dan Nabi-Nya.

 Sekaligus menuduh Nabi Yusuf melakukan maksiat, padahal para ulama’ Ahlussunnah sepakat, bahwa Nabi dan Rasul harus maksum. Karena itu, ini tidak mungkin.

Selain itu, andai saja klaim ini benar, dan tindakan Nabi Yusuf ini dibolehkan, maka kebolehan ini tidak berlaku bagi kita. Karena, syariat Nabi dan umat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita. Sebab, masing-masing sudah diberi syariat yang berbeda [Q.s. al-Ma’idah: 48].

Karena itu, _*hanya ada satu thariqah untuk memenangkan Islam, yaitu dengan menegakkan Khilafah, sebagaimana thariqah yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Karena inilah satu-satunya thariqah yang benar*_. Wallahu a’lam.

Friday, March 16, 2018

MENEGAKKAN KHILAFAH WUJUD KETAATAN KEPADA ALLAH SWT

Buletin Kaffah No. 32_28 Jumadul Akhir 1439 H – 16 Maret 2008 M


Ada sebagian orang saat ini yang seolah menganggap ajaran Islam harus dipegang teguh jika dinyatakan secara tekstual di dalam al-Quran. Jika tidak, maka seolah itu bukan ajaran Islam. Jika pun dianggap sebagai ajaran Islam, ia tidak perlu diutamakan dan diamalkan; boleh saja ditinggalkan.

Contohnya adalah tentang Khilafah. Mereka menolak Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Mereka berdalih, Khilafah tidak ada di dalam al-Quran. Yang ada dalam al-Quran, kata mereka, adalah khalifah (QS al-Baqarah [2]: 30), bukan khilafah.

Lalu ada yang menyatakan bahwa khalifah itu tidak ada hubungannya dengan Islam. Pasalnya, kata dia, Nabi Adam as. menjadi khalifah karena dua hal: Pertama, karena mengetahui nama-nama, dan itu artinya adalah profesional. Kedua, karena menang tanding melawan malaikat. Karena itu, menurut dia, siapapun adalah khalifah jika memenuhi dua kualifikasi: memiliki profesionalisme dan menang tanding. Seorang hakim adalah khalifah karena memiliki profesionalisme dan menang tanding menyingkirkan sarjana hukum lainnya. Menurut dia pula, Donald Trump adalah khalifah tingkat dunia, sedangkan Jokowi adalah khalifah tingkat nasional.

Pernyataan di atas jelas ngawur! Pasalnya, banyak ajaran Islam yang tidak disebutkan secara tekstual di dalam al-Quran. Penolakan terhadap Khilafah dengan alasan tidak ada dalam al-Quran juga menyiratkan penolakan terhadap apa yang tercantum dalam as-Sunnah. Seandainya mau melihat as-Sunnah, tentu akan mudah menemukan banyak nas yang menyatakan dan membicarakan Khilafah dan khalifah atau imam.

Kalaulah Khilafah dianggap sebagai hal yang masih diperselisihkan, tetap hal itu harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Pasalnya, kaum Muslim memang wajib mengembalikan semua perkara pada al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

﴿فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ...﴾
Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah sesuatu itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari akhir... (TQS an-Nisa’ [4]: 59).


Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah SWT berfirman (yang artinya): Kembalikanlah persengketaan dan ketidaktahuan itu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berhukumlah pada keduanya dalam apa yang kalian perselisihkan jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam obyek perselisihan pada al-Kitab dan as-Sunnah dan tidak merujuk pada keduanya bukanlah orang yang mengimani Allah dan Hari Akhir.”

Sebagaimana ayat di atas, banyak ayat lain yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan hukum Islam. Contohnya adalah firman Allah SWT:

﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
Putuskan hukum di antara mereka berdasarkan apa (wahyu) yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka untuk meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).


Perintah semacam ini bertebaran dalam al-Quran seperti dalam: QS al-Maidah [5]: 48-49; an-Nisa’ [4]: 59, 60, dan 65; al-Hasyr [47]: 7; al-Ahzab [33]: 36; an-Nur [24]: 63; dan lain-lain.

Kewajiban ini pun berlaku untuk seluruh manusia sejak Rasulullah saw. diutus hingga Hari Kiamat (lihat: QS Saba` [34]: 28 dan  al-A’raf [7]: 158).

Banyak kewajiban yang Allah SWT perintahkan di dalam al-Quran, misalnya dalam perkara kepemimpinan; dalam perkara ibadah yang memerlukan peran penguasa seperti pemungutan zakat, masalah ekonomi, jihad, hudûd dan jinâyat dan sebagainya.  Penerapan hukum-hukum itu memerlukan penguasa sebagai pelaksananya. Sejak hijrah ke Madinah, Rasul saw. adalah pihak yang mengimplementasikan semua hukum itu sebagai seorang kepala negara. Sebagai kepala negara, beliau juga mengangkat para pejabat dalam struktur Daulah Islam yang beliau dirikan untuk menjalankan hukum dan mengurus urusan umat seperti wali (gubernur), qâdhi (hakim), para kâtib (sekretaris) dan polisi. Beliau juga membentuk angkatan perang, menunjuk panglima dan sebagainya. Pasca beliau, para khalifahlah yang melanjutkan kepemimpinan atas umat. Hal ini beliau jelaskan dalam sabda beliau:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ»
Bani Israil dulu dipimpin dan diurusi oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR Muslim).

Dalam hadis ini, Rasul saw. menyatakan bahwa beliau mengurusi umat sebagaimana para nabi terdahulu mengurusi Bani Israel. Lalu seolah Rasul saw. menjawab pertanyaan yang bisa muncul tentang siapa yang menjalankan peran pengurusan umat itu sepeninggal beliau. Pasalnya, tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Beliau lalu secara gamblang menyatakan, tugas dan peran itu dijalankan oleh para khalifah. Jadi penerapan hukum, penjagaan agama dan pengurusan umat sepeninggal Nabi saw. dijalankan oleh para khalifah.

Di sinilah Ibnu Khaldun menyatakan, “Ketika telah jelas bagi kita hakikat jabatan tersebut, bahwa jabatan itu merupakan wakil dari pemilik syariah dalam menjaga agama dan pengaturan urusan dunia, disebut Khilafah dan Imamah. Adapun pelaksananya adalah khalifah atau imam.” (Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 97).

Maka dari itu, mudah dipahami kewajiban mengangkat seorang khalifah/imam. Pasalnya, semua hukum yang wajib diterapkan—seperti hudûd, jinâyat, dan sebagainya—akan  terlantar ketika tidak ada khalifah seperti sekarang. Imam Hasan an-Naisaburi berkata:

أَجْمَعَتْ اْلأُمَّةُ عَلَى أَنَّ اْلمخَاطَبَ بِقَوْلِهِ ﴿فَاجْلِدُوْا﴾ هُوَ اْلإِمَامُ حَتَّى احْتَجُّوْا بِهِ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ اْلإِمَامِ فَإِنَّ مَا لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ .
Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dengan firman-Nya: “Cambuklah oleh kalian…” adalah Imam (Khalifah) hingga mereka berhujjah dengan ayat ini atas kewajiban mengangkat imam (khalifah). Pasalnya, suatu kewajiban yang tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib (An-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi, V/465).

Kewajiban mengangkat imam/khalifah sama dengan kewajiban menegakkan Khilafah. Hal itu juga ditegaskan dalam sabda Rasul saw.:

«مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Hakikat ini dipahami betul oleh para Sahabat. Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Imam Thahir ibnu ‘Asyur dalam Tafsir At-Tahrîr wa at-Tanwîr juga menegaskan, “Para Sahabat telah bersepakat setelah Nabi saw. wafat untuk mengangkat seorang khalifah demi menegakan sistem umat dan menjalankan syariah. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama dan umat secara umum yang menentang ijmak ini kecuali orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelasnya petunjuk kepada mereka, yaitu kalangan bangsa Arab yang keras kepala dan para penyeru fitnah. Berdebat dengan orang-orang seperti mereka adalah sia-sia.”

Ijmak Sahabat itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali, tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14). Jadi Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah atau menegakkan Khilafah tidak bisa dibatalkan oleh kesepakatan orang sesudahnya, termasuk kesepakatan orang zaman sekarang, kalaupun benar ada kesepakatan itu.

Apalagi faktanya Ijmak Sahabat tentang kewajiban menegakkan Khilafah ini dikuatkan oleh kesepakatan para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Imam an-Nawawi juga menegaskan hal yang sama dalam Syarh Shahîh Muslim.

Karena merupakan kewajiban berdasarkan syariah, berarti menunaikan kewajiban ini mendatangkan pahala dan upaya mengabaikannya berkonsekuensi dosa. Dengan demikian perjuangan untuk mewujudkan Khilafah dan mengangkat khalifah jelas merupakan bentuk ketaatan kepada Allah SWT bahkan merupakan bagian ketaatan yang utama. Jika ada yang menganggap upaya menegakkan Khilafah sebagai pembangkangan kepada Allah SWT, jelas itu adalah anggapan yang keblinger!

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []


Hikmah:

Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ﴾
Tentang apa saja kalian berselisih maka hukum (putusan)-nya kembali kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada Dialah aku bertawakal dan kepada dia pula aku kembali (TQS asy-Syura [42]: 10). []