• Bijak dalam bersosial media

    Mari perdalam agama islam secara kaffah/menyeluruh, hati-hati dalam copas dan share sosmed, ikuti pendapat ulama yang ikhlas dan benar.

  • Islam adalah agama yang Sempurna

    Kebenaran Islam tidak terbantahkan oleh kebenaran apapun,buktikan. Pelajari secara mendalam kepada ustad/ustazah yang benar dan ikhlas

  • Sosial Media bagaikan pisau bermata dua

    Mari gunakan sebaik-baiknya, cerdas dan arif dalam penggunaannya serta tidak menyalahi aturan islam

Tuesday, June 19, 2018

KAUM BERPENYAKIT, SAPI BETINA dan KHILAFAH

KAUM BERPENYAKIT, SAPI BETINA, KHILAFAH

Sebelumnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena yang menulis ini (saya pribadi) tidak lebih baik dari orang-orang yang dimaksud dalam tulisan ini.
Saya memang merasakan sendiri bagaimana keadaan saat selalu mencari-cari alasan/alibi/kesempatan untuk bermaksiat, sehingga kita merasa mendapatkan pembenaran dari perbuatan kita.

Kita membahas hikmah & pencerminannya kepada orang-orang yang dimaksud oleh tulisan ini.
Tadabbur level ringan.
Apa yang benar hanya berasal dari Allah, & apa yang salah berasal dari makhluk ciptaanNya.

Mungkin saudara pernah mendengar kisah sapi betina dalam Al-Qur'an?
Tepatnya pada surat Al-Baqarah.
Pernahkah antum bertanya, mengapa surat itu berjudul Al-Baqarah (sapi betina)?

Disini kita mendapatkan sedikit hikmah & pelajarannya.

Surat Al-Baqarah berisi banyak sekali hukum dari Allah.
Dan kalau hukum-hukum itu disodorkan kepada orang-orang yang berpenyakit hatinya, maka mereka akan bertingkah seperti orang-orang Yahudi yang diperintahkan Allah & RasulNya untuk menyembelih sapi betina tersebut.

Terus-menerus bertanya, mencari alasan, mengulur-ulur, mencari alibi, & berbagai macam bentuk pembangkangan lainnya kepada sesuatu yang padahal mereka tahu itu benar namun mereka tidak menyukainya.

Semua itu terjadi karena perintah atau janji dari Allah & RasulNya tidak sesuai dengan selera, nafsu, akal, & kebutuhan mereka.

MEREKA SEMUA TERUS-MENERUS BERTANYA DENGAN TUJUAN AGAR PERINTAH ITU TIDAK JADI DILAKSANAKAN.

Tapi Allah & NabiNya tetap mendesak mereka agar menjalankan perintahNya, apapun alasan mereka.

Kejadiannya mirip seperti kaum Yahudi pada jaman Nabi Musa A.S.
Semakin banyak bertanya, mereka justru semakin sulit mendapatkan sapi itu.
Andai mereka menurut saat perintah pertama, mereka bebas memilih sapi manapun.
Namun, sifat membangkang justru membuat mereka semakin sulit.
Setelah banyak pertanyaan, mereka justru harus mendapatkan sapi yang sempurna.
Rupanya mereka menyadari kebodohan mereka itu.
Akhirnya, mereka pun mencukupkan pertanyaan dan mulai mencari jenis sapi yang elok itu.
“Sekarang kamu menerangkan sapi itu dengan lengkap,” kata mereka.

Coba bayangkan, pada waktu itu bani Israil malah menganggap perintah Allah & Rasulullah Musa sebagai ejekan.

Sama saja seperti sekarang. Sudah tahu bahwa syariat & Khilafah adalah perintah sekaligus janji dari Allah & RasulNya, mereka malah menganggapnya sebagai makar, perusak tatanan, terorisme, provokasi, radikalisme, extrimisme, pemecah belah, wahabi, dsb.

Di luar kaum munafik, kaum sekuler, kaum liberal, & setan-setan bertopeng Islam...
Mari kita lihat tingkah mereka pada jaman sekarang saat "disuruh menyembelih sapi betina".

Pertama mari kita sodorkan:
"Tegakkan Khilafah, sebagai pelindung umat Muslim & pelaksana hukum Syariat yang kaffah".
Mereka berkata:

*) TOLAK KHILAFAH, SAYA INDONESIA, SAYA PANCASILA, NKRI HARGA MATI, PANCASILA HARGA MATI !!!
Lalu kita katakan, "Khilafah itu kewajiban umat Muslim, Khilafah itu ajaran Islam, bukan kewajiban sekelompok ormas saja. Khilafah adalah warisan Rasulullah & para sahabat".
Selanjutnya, mereka mengatakan:

*) KHILAFAH MENGANCAM NKRI !!! YANG MENOLAK PANCASILA & UNDANG-UNDANG KELUAR SAJA DARI NKRI !!!
Lalu kita katakan lagi, "yang menolak hukum Allah & RasulNya secara kaffah silahkan keluar dari alam semestanya Allah. Allah itu bukan bawahanmu yang harus tunduk, patuh, & menyesuaikan diri dengan keputusan pendiri bangsa, pemerintah, kapolri, & pancasila. Allah lebih tinggi dari itu semua".
Lalu mereka mengatakan:

*) KHILAFAH TIDAK ADA DALAM AL-QUR'AN !!! KHILAFAH ITU HANYA SUNNAH & IJTIHAD PARA ULAMA !!! KHALIFAH HANYA SEBUTAN SAJA UNTUK PEMIMPIN NEGARA !!!
Lalu kita menentang pendapat mereka, bahwa Khilafah hukumnya wajib. Kita juga menunjukkan bahwa ada hadits Rasulullah S.A.W tentang kaum/golongan yang anti hadits, hanya mengambil dari Al-Qur'an saja. Mulai dari masalah sholat 5 waktu, Khilafah, dan berbagai macam contoh lainnya.
Setelah tahu kebenaran, mereka beralibi lagi:

*) KHILAFAH ITU HANYA ADA PADA JAMAN RASULULLAH & PARA SAHABAT, SEKARANG SUDAH BEDA JAMAN !!!
Lalu kita menunjukkan dalil, riwayat, serta pendapat para ulama besar terdahulu, termasuk pendapat imam 4 madzhab.
Setelah tahu semua itu, mereka beralasan:

*) KHILAFAH BOLEH ADA TAPI DENGAN DASAR NASIONALISME & TIDAK MENGANCAM NKRI !!! KHILAFAHNYA ADALAH KHILAFAH PANCASILA !!!
Lalu kita menunjukkan dalil tentang haramnya ashobiyah atau fanatisme jahiliyah (nasionalisme, fanatik ras, fanatik kesukuan, fanatik kelompok, fanatik nasab, fanatik madzhab, dll). Kita juga menerangkan bahwa di dalam Islam, konsep nasionalisme berbeda dengan konsep cinta tanah air & bela negara di dalam ajaran Islam. Kita beritahukan mereka bahwa nasionalisme bisa memecah belah umat Muslim di seluruh dunia, menyebabkan lemahnya persatuan umat.
Kembali kita sebutkan kebenaran menggunakan dalil & alasan ilmiah, kembali juga mereka menentangnya dengan alibi:

*) KHILAFAHNYA ADALAH KHILAFAH AL-MAHDI, BUKAN KHILAFAH VERSI KAMU !!!
@#$%^  &%$#@!  $%^&*(  ^%$  #@!#$%^&* !!!!!
Iya, Khilafahnya harus Khilafah Islam, bukan versi kita, DAN JUGA BUKAN VERSI KAMU.
Padahal kita sudah menunjukkan berbagai dalil & riwayat serta segala penjelasannya, baik dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' Sahabat, & Qiyas, termasuk pendapat para ulama besar jaman dahulu, bahwa Khilafah yang kita dirikan adalah Khilafah Islam, Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwah.

TAHUKAH ANDA, alasan terakhir yang sedang marak ini, ("Khilafahnya adalah Khilafah Al-Mahdi") itu hanya permainan alibi atau pertahanan emosional saja untuk menutupi-nutupi bahwa selama ini mereka salah?

Gambaran yang paling gampang yaitu, mereka mencari-cari dalil Islam sendiri untuk menentang & menolak Islam, termasuk bentuk penolakan mereka terhadap Khilafah.

Mereka kalah dalil, kalah ilmiah, kalah kebenaran, & terus beralasan seperti kaum Yahudi saat diperintahkan Allah & RasulNya untuk menyembelih sapi betina.

Untuk alasan mereka yang terakhir di atas, PERLU ANDA TAHU sebelumnya bahwa:
Imam Mahdi nanti pasti menang, Islam akan menguasa dunia (termasuk Indonesia), bumi akan dimakmurkan oleh Allah melalui Islam, & Islam akan masuk ke setiap rumah di seluruh penjuru bumi.

TAPI....!!!!!
(masih untuk alasan terakhir mereka)
Mereka semua akan kembali bertingkah seperti Yahudi.
Apa maksud saya?

Kalau tadi mereka menunjukkan kelakuan Yahudi saat diperintah menyembelih sapi betina, lalu kelakuan Yahudi lainnya akan muncul seperti saat mereka menunggu Nabi terakhir mereka yang akan muncul di Madinah.
Begini kelakuan Yahudi yang lainnya:

Jaman sebelum Rasulullah S.A.W lahir & diutus menjadi Nabi oleh Allah S.W.T, orang-orang Yahudi pergi ke kota Madinah (Yatsrib) untuk menunggu kedatangan Nabi terakhirnya yang telah tertulis di dalam kitab mereka.

(INGAT BAIK-BAIK) Mereka gembar-gembor soal "Nabi terakhir", "Nabi terakhir", "Nabi terakhir".

Tapi begitu Nabi terakhirnya muncul, mereka mendustakan Nabi Muhammad karena tidak berasal dari golongan Yahudi.

Sama saja seperti alasan terakhir mereka.
Gembar-gembor soal "imam Mahdi", "imam Mahdi", "imam Mahdi", tapi begitu Al-Mahdinya keluar, mereka mungkin akan memusuhinya.

Karena Al-Mahdi akan memimpin Khilafah, sementara mereka menolak Khilafah.
Al-Mahdi hanya akan berhukum dengan Qur'an, Sunnah, Ijma', & Qiyas, tidak menggunakan hukum jahiliyah buatan manusia.
Al-Mahdi hanya akan berideologi Islam, bukan ideologi pancasila, kapitalisme, & komunisme.
Islamnya Al-Mahdi akan kaffah, sementara mereka menghendaki kesenangan dunia.
Seperti Yahudi pada jaman Rasulullah juga akhirnya.

Beliau (Al-Mahdi) pasti menang, tapi awal perjuangannya akan didustakan.

Inilah mereka, Al-Mahdi, Khilafah, sifat Yahudi, & sapi betina nanti.
Dan semoga kita semua digiring & dibimbing oleh Allah menuju perjuangan Islam yang benar, bukan hanya klaim kelompok maupun pembenaran semata.

Monday, June 18, 2018

PENAKLUKAN DALAM ISLAM BUKAN PENJAJAHAN

PENAKLUKAN DALAM ISLAM ITU DAKWAH “ISLAM RAHMATAN LIL-‘ALAMIN”, BUKAN PENJAJAHAN

_“Islam kita ini Islam nusantara, Islam kita ini Islam yang sejati bukan Islam abal-abal model Timur Tengah. Ini Islam sejati, Islam nusantara ini, serius! serius! … Kenapa Islam nusantara mampu menjadi Islam yang sejati? karena Islam hadir dan hidup di nusantara ini bukan sebagai penakluk. Lain dengan yang di Arab dan anak-anak peradabannya, semuanya Islam datang sebagai penakluk.. yaa kurang lebih sebagai penjajah.”_

Begitulah narasi yang dibawakan oleh Yahya Staquf dalam sebuah potongan video yang sedang viral bebarapa hari terakhir, bersamaan dengan viralnya video talkshow dirinya di wilayah pendudukan Israel.

Dalam narasinya tersebut, Yahya Staquf mengangkat “Islam Nusantara” dan merendahkan “Islam Arab”. Lebih memperihatinkan lagi adalah alasan bahwa itu disebabkan karena Islam Arab datang sebagai penakluk, yang itu ia samakan dengan penjajahan. Itu berarti secara tidak langsung menganggap Rasulullah saw beserta para Khulafa’ Rasyidun ra layaknya penjajah. Karena di tangan beliau-beliaulah Islam tersebar di jazirah Arab dan anak-anak peradabannya. _wal ‘iyâdzu billâh._

Mari kita fokus pada isu penaklukan dalam Islam yang ia samakan dengan penjajahan. Benarkah demikian? Mari kita lihat dari sudut pandang bagaimana itu penaklukan dalam Islam, dan apa itu penjajahan. Sering kali aspek ini juga disalahpahami oleh sebagian kaum muslim akibat propaganda yang dilakukan oleh kaum orientalis atau para penyambung lidah mereka, bahwa Islam disebarkan dengan pedang alias dengan pemaksaan, kekerasan, atau semacamnya.

*Menaklukkan Demi Dakwah Islam Tanpa Paksaan*

Penaklukan dalam Islam atau yang juga dikenal dengan pembebasan dan futuhat adalah bagian daripada syari’at jihad. Yaitu tepatnya jihad yang bersifat offensive _(jihâd hujûmî),_ yang diartikan sebagai:

القتال الهجومي : وهو الذي يبدؤه المسلمون عندما يتجهون بالدعوة الإسلامية إلي الأُمم الأخرى في بلادها ، فيصدّهم حكامها عن أن يَبْلُغوا بكلمة الحق سمع الناس .

_“Perang yang bersifat offensive; yaitu perang yang dimulai oleh kaum muslim ketika mereka memaksudkan dakwah Islam kepada umat lain di negeri mereka, namun penguasanya menghalang-halangi kaum muslim untuk menyampaikan kebenaran.”_ (Mushthafa Dib al-Bugha dkk., al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab al-Imâm al-Syâfi’î, juz 8 hlm 115)

Inti daripada jihad ini adalah dakwah, yaitu agar Islam masuk, tersiar, dan diterapkan di wilayah yang menjadi target dakwah. Adapun perang, sebatas untuk menghilangkan penghalang dakwah yang biasanya datang dari penguasa wilayah setempat.

Jihad offensive ini dalam keterangan para ulama, hukumnya _fardhu kifayah_ yang lazim dilaksanakan minimal setahun sekali.

أن يغزو كل عام إما بنفسه أو بسراياه على الإمام ، ولا يعطل الجهاد إذا قدر عليه : لأن فرضه على الأبد ما بقي للكفار دار ، والذي استقرت عليه سيرة الخلفاء الراشدين أن يكون لهم في كل سنة أربع غزوات ، صيفية في الصيف ، وشتوية في الشتاء ، وربيعية في الربيع ، وخريفية في الخريف . ... فإن عجز الإمام عن أربع غزوات في كل عام انتصر منها على ما قدر عليه . وأقل ما عليه أن يغزو في كل عام مرة ، ولا يجوز أن يتركها إلا من ضرورة.

_“Wajib seorang imam (khalifah) untuk menyelenggarakan perang (jihad) setiap tahun, baik dengan melibatkan dirinya langsung maupun dengan mengirim pasukan, dan tidak boleh menelantarkan jihad apabila ada kemampuan untuk itu. Sebab wajibnya jihad itu berlaku untuk selamanya, selama kaum kafir memiliki wilayah kekuasaan. Dan yang menjadi ketetapan pada masa Khulafa Rasyidin adalah mereka setiap tahunnya menyelenggarakan empat kali jihad; di musim panas, di musim dingin, di musim semi, dan di musim gugur. … Apabila sang imam (khalifah) tidak mampu menyelenggarakan empat kali jihad di setiap tahunnya, maka dilakukan semampunya menurut kemampuan maksimal yang dimilikinya. Sedangkan minimal yang wajib untuk dilaksanakannya di setiap tahun adalah satu kali. Dan tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan alasan darurat.”_ (al-Mawardi, al-hâwî al-kabîr, juz 14 hlm 301)

Meski berupa aktivitas perang fisik, jihad jenis ini tidak dilakukan secara sembarangan. Akan tetapi memiliki tata cara tertentu yang khas. Yakni diawali dengan menawarkan kepada penguasa kaum kafir untuk memilih salah satu dari tiga pilihan: masuk Islam, membayar jizyah (dengan tetap dalam kekafiran), atau perang.

Tiga pilihan ini merupakan kaifiyah baku yang datang dari Rasulullah saw. Beliau bersabda:

وإذا لقيت عدوك من المشركين ، فادعهم إلى ثلاث خصال -أو خلال- فأيتهن ما أجابوك فاقبل منهم ، وكف عنهم ، ثم ادعهم إلى الإسلام ، فإن أجابوك ، فاقبل منهم ، وكف عنهم ، ... فإن هم أبوا فسلهم الجزية ، فإن هم أجابوك فاقبل منهم ، وكف عنهم ، فإن هم أبوا فاستعن بالله وقاتلهم .

_"Jika kamu menjumpai musuhmu kaum musyrik, maka serulah mereka untuk memilih salah satu dari tiga perkara. Apapun dari ketiganya yang mereka pilih maka kamu harus menerimanya. Serulah mereka untuk masuk Islam, jika mereka mau maka terimalah dan biarkan mereka … jika mereka tidak mau maka mintalah dari mereka jizyah, jika mereka mau maka terimalah dan biarkan mereka. Jika mereka tidak mau, maka mintalah pertolongan pada Allah perangilah mereka._ (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)

Bakunya seruan di atas tergambar jelas di antaranya dalam pembicaraan antara ‘Ubadah bin al-Shamit ra yang merupakan utusan panglima ‘Amr bin al-‘Ash ra, yang diutus khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra untuk membebaskan negeri Syam, dengan raja Muqauqis berikut.

... فانظر الذي تريد فبينه لنا ، فليس بيننا وبينكم خصلة نقلبها منكم ، ولا نجيبك إليها إلا خصلة من ثلاث، فاختر أيها شئت ، ولا تُطمع نفسك في الباطل؛ بذلك أمرني الأمير ، وبها أمره أمير المؤمنين ؛ وهو عهد رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من قبل إلينا .

أما إن أجبتم إلى الإسلام الذي هو الدين الذي لا يقبل الله غيره ، وهو دين أنبيائه ورسله وملائكته ، أمرنا الله أن نقاتل من خالفه ورغب عنه حتى يدخل فيه ، فإن فعل كان له ما لنا وعليه ما علينا ، وكان أخانا في دين الله ؛ فإن قبلت ذلك أنت وأصحابك ، فقد سعدتم في الدنيا والآخرة ، ورجعنا عن قتالكم ، ولا نستحل أذاكم ، ولا التعرض لكم ، وإن أبيتم إلا الجزية ، فأدوا إلينا الجزية عن يد وأنتم صاغرون ، نعاملكم على شيء نرضى به نحن وأنتم في كل عام أبدًا ما بقينا وبقيتم ، ونقاتل عنكم من ناوأكم وعرض لكم في شيء من أرضكم ودمائكم وأموالكم، ونقوم بذلك عنكم ؛ إذ كنتم في ذمتنا، وكان لكم به عهد الله علينا ، وإن أبيتم فليس بيننا وبينكم إلا المحاكمة بالسيف حتى نموت من آخرنا ، أو نصيب ما نريد منكم ؛ هذا ديننا الذي ندين الله به ، ولا يجوز لنا فيما بيننا وبينه غيره، فانظروا لأنفسكم .

فقال له المقوقس : هذا مما لا يكون أبدًا ، ما تريدون إلا أن تأخذونا لكم عبيدًا ما كانت الدنيا . فقال له عبادة : هو ذاك ، فاختر ما شئت . فقال له المقوقس : أفلا تجيبونا إلى خصلة غير هذه الخصال الثلاث ؟ فرفع عبادة يديه ، وقال : لا ورب السماء ورب هذه الأرض ورب كل شيء ، ما لكم عندنا خصلة غيرها ، فاختاروا لأنفسكم .

_“(’Ubadah bin al-Shamit ra.): … Pikirkanlah dan terangkan kepada kami apa yang anda mau. Antara kita tidak ada pilihan yang akan kami terima dan tidak pula pilihan lain selain salah satu dari tiga pilihan saja. Pilihlah mana yang anda mau, jangan perturutkan hawa nafsu anda dalam kebatilan. Begitulah aku diperintahkan oleh amir (amir jihad), dan begitu pula-lah amirul mukminin (khalifah) memerintahkan beliau. Dan sebelumnya, itu merupakan amanat dari Rasulullah saw kepada kami._

_Yaitu antara memenuhi seruan masuk Islam, yang merupakan agama satu-satunya yang diterima oleh Allah, ialah agama para nabi, rasul, dan malaikat-Nya. Allah memerintahkan kami untuk memerangi siapa saja yang menyelisihi dan membencinya hingga ia masuk ke dalamnya. Apabila ia lakukan itu (masuk Islam) maka ia akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan kami, dan akan menjadi saudara se-Islam kami. Jika anda dan sahabat-sahabat anda memilih itu, maka kalian pasti bahagia di dunia dan di akhirat, dan kami akan pulang dari memerangi kalian, dan tidak menyakiti kalian, dan tidak pula menantang kalian. Tapi jika kalian tidak mau kecuali membayar jizyah, maka tunaikanlah jizyah kepada kami dalam keadaan tunduk terhadap syari’at Islam. Kami akan memperlakukan kalian berdasarkan apa yang kita sepakati bersama di setiap tahunnya untuk seterusnya selama kami dan kalian ada. Kami akan memerangi siapa saja yang memusuhi dan menantang kalian terkait tanah, keselamatan jiwa dan harta kalian. Kami lakukan itu untuk kalian karena kalian berada dalam jaminan kami, dan kalian punya hak dalam perjanjian yang wajib kami tepati. Tapi jika kalian enggan, maka antara kita hanya ada penentuan melalui perang hingga kami mati semua atau kami mengalahkan kalian. Inilah agama kami yang kami yakini, dan kami tidak boleh menempuh langkah lain di dalamnya. Maka pikirkanlah keputusan untuk diri kalian._

Raja Muqauqis berkata kepada beliau: _Yang kalian mau tidak lain adalah menjadikan kami sebagai orang-orang kalian, sampai hari kiamat ini tidak akan mungkin terjadi!_ Ubadah berkata: _Itulah adanya, silahkan pilih mana yang anda mau._ Muqauqis: _Tidakkah kalian mau menerima alternatif pilihan selain tiga perkara ini?_ Maka ‘Ubadah mengangkat kedua tangan beliau, dan berkata: _Demi Allah Tuhan langit, bumi, dan segala sesuatu, kalian tidak punya pilihan lain selain itu. Maka tentukan pilihan kalian.”_ (Jalaluddin al-Suyuthi, Husn al-Muhâdharah fî Târîkh Mishr wa al-Qâhirah, juz 1 hlm 113-114)

Di situ jelas bahwa tiga pilihan tersebut adalah “harga mati” yang tidak bisa ditawar lagi. Ia adalah amanat Rasulullah saw bagi kaum muslim sepeninggal beliau untuk selalu diterapkan hingga hari kiamat tiba, dan bagi kaum kafir dipersilahkan untuk memilih; apakah mau masuk Islam, atau mau tetap kafir dengan membayar jizyah, atau bahkan menghendaki perang.

Tentu umat Islam sangat berharap mereka memilih pilihan yang pertama, yaitu masuk Islam tanpa ada peperangan. Akan tetapi, umat Islam tidak bisa memaksa kaum kafir memilih yang mana. Keputusan memilih sepenuhnya ada di tangan kaum kafir, dan manapun yang menjadi pilihan mereka umat Islam harus siap menghadapinya. _“Apapun dari ketiganya yang mereka pilih maka kamu harus menerimanya”_ begitu pesan Nabi saw.

Tidak bisa dikatakan bahwa kaum muslim memaksa mereka masuk Islam dengan ancaman perang, karena ada opsi yang dengan memilihnya mereka bisa tetap dalam kekafirannya jika memang tidak mau masuk Islam. Yaitu dengan membayar jizyah dan tunduk sebagai Kafir Dzimmi. Kalaupun yang mereka pilih adalah perang, maka itu kemauan mereka sendiri, bukan kemauan umat Islam.

Dan yang perlu digaris bawahi tebal-tebal adalah, bahwa tiga pilihan tersebut bukan kreasi umat Islam sendiri. Bukan pula hasil karangan Muhammad bin Abdillah sebagai manusia. Akan tetapi itu adalah ketentuan syari’at dari Allah swt yang telah mengutus beliau. Kaum muslim hanya menjalankannya sebagai bagian dari konsep sistem khilafah dari masa ke-masa, yakni terkait dengan prinsip politik luar-negerinya. Dan terbukti inilah cara mahahebat Allah swt dalam mengunggulkan Islam atas segala agama yang ada. Sehingga menjadi agama pengayom bukan yang diayomi, pemberi keputusan bukan yang diberi keputusan, menyebar rahmat dan pemakmur dunia dengan cahaya petunjuk ilahi bukan menyebab kerusakan dan kesesatan. Sebagaimana terkandung dalam ayat:

{ هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ } [التوبة: 33]

_“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk Dia menangkan atas segala agama yang ada, walaupun kaum musyrik membencinya.”_ (QS. Al-Taubah [9]: 33)

Semoga kita tidak termasuk kaum musyrik yang tidak menyukai akan hal tersebut.

*Penaklukan Bukan Penjajahan*

Karena misi utama daripada jihad di atas adalah dakwah Islam, maka tentu terbalik akal orang-orang yang menyamakannya dengan penjajahan. Bisa dilihat dalam catatan sejarah, betapa penaklukan Islam dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan di wilayah-wilayah yang ditaklukkannya, dan semua itu dinikmati oleh warga setempat baik muslim maupun non-muslimnya. Di antara pengakuan akan keadilan dan kesejahteraan yang dirasakan non-muslim dalam naungan Islam dengan sistem khilafah-nya, adalah surat yang dikirim oleh kaum nasrani Syam kepada sahabat Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah ra pada tahun 13 H:

يا معشر المسلمين أنتم أحب إلينا من الروم وإن كانوا على ديننا ، أنتم أوفى لنا وأرأف بنا وأكف عن ظلمنا وأحسن ولاية علينا.

_“Wahai kaum muslim, kalian lebih kami cintai daripada bangsa Romawi meskipun mereka seagama dengan kami. Kalian lebih menepati janji, lebih berbelas-kasih terhadap kami, lebih bersikap adil terhadap kami, dan lebih baik dalam memerintah kami.”_ (al-Baladzuri, Futûh al-Buldân, hlm 139)

Dan banyak lagi keterangan serupa dapat dibaca di banyak referensi. Di antaranya sebagaimana telah dihimpun oleh Dr. Abdullah bin Ibrahim al-Luhaidan dalam karyanya Samâhah al-Islâm fî Mu’âmalah Ghayr al-Muslimîn.

Ini 180° berbeda dengan penjajahan. Yang faktanya selalu mengeksploitasi kekayaan negeri jajahan untuk dinikmati pihak penjajahnya, serta memiskinkan, memperbudak, mengusir atau bahkan kalau perlu membantai warga aslinya. Sebagaimana penjajahan Belanda atas Indonesia, kaum zionis Israel atas Palestina, bangsa kulit putih atas kulit hitam di AS, dan lain sebagainya.

Islam tidak hanya sebatas memakmurkan wilayah yang ditaklukkan dan menyejahterakan penduduknya. Karena dengan penaklukan tersebut Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan, termasuk dalam bernegara, maka banyak warga non-muslim melihat keindahan Islam dan akhirnya dengan suka-rela masuk Islam. Sebagaimana masuk Islam nya seorang Nasrani di masa kekhilafahan ‘Umar bin Khaththab ra karena telah dibela sang khalifah atas perilaku zalim seorang walinya; juga berislamnya seorang Yahudi di masa kekhilafahan ‘Ali bin Abi Thalib ra karena kasusnya dimenangkan secara adil oleh al-Qadhi Syuraikh padahal lawan sengketanya tidak lain adalah sang khalifah sendiri, dan banyak lagi. Inilah dakwah bil-hâl (dengan praktik langsung) sebenarnya yang diperankan oleh khilafah dengan penerapan syari’at Islam secara menyeluruh atas umat atau wilayah yang ditaklukkannya. Sebagaimana pepatah arab mengatakan:

لسان الحال أفصح من لسان المقال

_"Ajakan melalui praktik itu lebih kuat pengaruhnya daripada ajakan secara lisan semata."_

Adakah sistem yang seindah, seteratur, dan secermat sistem Islam ini? Kenapa ada manusia-manusia jahat yang berusaha mengkriminalisasi ajarannya, dalam hal ini Jihad dengan menyamakannya dengan penjajahan? Apakah tidak mungkin justru merekalah penyambung lidah para penjajah yang sebenarnya, dari kalangan kaum kapitalis yang merasa terancam kepentingannya dengan tegaknya syari’at yang anti terhadap penjajahan, yaitu Khilafah yang akan menerapkan jihad offensive menyebarkan islam sebagai _rahmat[an] lil-‘âlamîn_? _Wallâhu ta’âlâ a’lam._ Mari kita pelihara otak kita agar selalu berfikir. _[af]_

Monday, June 11, 2018

HUKUM SHOLAT JUM’AT BERSAMAAN DENGAN HARI RAYA

HUKUM SHOLAT JUM’AT BERSAMAAN DENGAN HARI RAYA (IDUL FITRI / IDUL ADHA)
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

1. Pendahuluan

Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun 2009, Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan semacam itu dengan melakukan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :

“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang datang dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian menurut pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jika mereka telah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur sebab mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bersama-sama pada hari itu. Maka tidak ada shalat sesudah shalat hari raya selain shalat Ashar.”

Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya semuanya….”

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam masalah ini terdapat 4 (empat) pendapat :

Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang datang dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Jadi jika mereka –yakni orang yang datang dari kampung — telah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Inilah pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.

Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang datang dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.

Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang datang maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.

Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Jadi setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.

2.Pendapat Yang Rajih

Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya adalah sebagai berikut:

Hukum Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Hukum Kedua, bagi mereka yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.

Hukum Ketiga, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkan zhuhur.

Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.

Keterangan mengenai masing-masing hukum tersebut akan diuraikan pada poin berikutnya, Insya Allah.

2.1. Keterangan Hukum Pertama

Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya adalah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :

صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).

Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :

قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّامُجَمِّعُونَ

“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).

Hadits-hadits ini merupakan dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi memberikan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kemudahan/keringanan).

Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah adalah hukum yang disyariatkan untuk meringankan hukum azimah (hukum asal) karena adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya hukum azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.

Jadi shalat Jumat pada saat hari raya, menjadi rukhshah, karena terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun karena rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.

Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini adalah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat kebalikan yang tersurat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, karena ada lafazh “man” sebagai syarat- adalah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”

Kesimpulannya, orang yang telah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.

Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini hanya untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi atau ahlul ‘aaliyah) –yang di tempat mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di tempat mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?

Yang lebih tepat menurut kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu karena nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)

2.2.Keterangan Hukum Kedua

Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang menjelaskan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.

Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).

Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, sebab Nabi SAW sendiri telah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.

2.3.Keterangan Hukum Ketiga

Jika orang yang sudah shalat hari raya memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, tidak boleh meninggalkannya.

Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang telah disebut di atas, hanya menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup pengguguran kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur adalah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat adalah hukum pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jika hukum pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada hukum asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu adalah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah hukum untuk menetapkan berlakunya hukum asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya hukum asal.

Dengan demikian, jika seseorang sudah shalat hari raya lalu memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.

2.4. Keterangan Hukum Keempat

Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda *”fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini adalah manthuq hadits. Mafhum mukhalafah-nya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.

Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut adalah dalil bahwa shalat Jumat -setelah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)

Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu adalah yang telah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.

3.Meninjau Pendapat Lain

3.1.Pendapat Imam Syafi’i

Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun beliau menetapkan kewajiban tersebut hanya berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang datang ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.

Sebenarnya Imam Syafi’i berpendapat seperti itu karena menurut beliau, hadits-hadits yang menerangkan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga beliau pun tidak mengamalkannya. Inilah dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata :  “Asy Syafi’i dan segolongan ulama berpendapat bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk semua hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menjadikan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup kuat untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, sebab sanad-sanad hadits itu telah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam telah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut dapat menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga beliau tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada semua hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam adalah shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk menerima hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam penilaian hadits, bahwa sebuah hadits bisa saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita tidak boleh cepat-cepat menolak suatu hadits) hanya karena seorang ahli hadits tidak menerimanya, karena ada kemungkinan hadits itu diterima oleh ahli hadits yang lain. Kita juga tidak boleh menolak suatu hadits karena para ahli hadits menolaknya, karena ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”

Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita tidak boleh menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada ahli hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana penjelasan Imam Ash Shan’ani. Jadi, beristidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga hukum yang didasarkan pada hadits tersebut adalah tetap berstatus hukum syar’i.

3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah

Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar) maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd menjelaskan argumentasi kedua Imam tersebut :  “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya adalah sunnah, sedang shalat Jumat adalah fardhu, dan salah satunya tidak dapat menggantikan yang lainnya. Inilah yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam masalah ini, kecuali jika terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”

Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak menerima hadits-hadits yang menerangkan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, beliau berdua kemudian berpegang pada hukum asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.

Namun demikian, beliau berdua memberikan perkecualian, bahwa hukum asal tersebut dapat berubah, jika terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.

Atas dasar itu, karena terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih menurut Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih menurut Ad Daraquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut dapat menjadi takhsis hukum asal shalat Jumat, yakni yang semula wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).

Dengan demikian, yang berlaku kemudian adalah hukum setelah ditakhsis, bukan hukum asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. Inilah pendapat yang lebih tepat.

3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah

‘Atha bin Abi Rabbah berpendapat bahwa jika hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur semuanya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.

Imam Ash’ani menjelaskan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :

Pertama, berdasarkan perbuatan sahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bahwasanya :

عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِبُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ

“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) telah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melakukan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu sampai dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).

Kedua, shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jika hukum asal telah gugur, otomatis gugur pulalah hukum penggantinya.

Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW telah memberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.

Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak menerima pendapat tersebut dan telah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah dapat dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang dapat dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu adalah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.

Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani menerangkan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat adalah hukum asal (al ashl) sedang shalat zhuhur adalah hukum pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat merupakan penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur ditetapkan lebih dahulu daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur ditetapkan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat ditetapkan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur adalah hukum asal, sedang shalat Jumat adalah penggantinya. Jadi jika shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada hukum asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)

4.Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya adalah sebagai berikut :

Pertama, jika seseorang telah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.

Kedua, jika orang yang telah menunaikan shalat hari raya tersebut memilih untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.

Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.

Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk masalah ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.

= = =

*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, adala Pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.

Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.

Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.

Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.

Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.

Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahkamun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.

An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.

———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.

Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.

Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.

Raghib, Ali. 1991. Ahkamush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah), Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal

Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal

Watimpres Yahya Staquf ke IsraelIsrael, ada apa?


33 RESOLUSI PBB SAJA DICUEKIN ISRAEL, APALAGI SEKADAR DIPLOMASI YAHYA 
Staguf

Mediaumat.news- Rencana kehadiran Watimpres Yahya Staquf sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Konsulat Hubungan Luar Negeri Israel di Tel Aviv pada 13 Juni mendatang, dinilai menunjukkan eksistensi penjajah Israel.

“Jadi kedatangan Yahya Staquf itu menunjukkan pengakuan eksistensi penjajah Israel,” ujar Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.news, Ahad (10/5/2018).

Menurut Ismail, salah satu penolakan terhadap penjajahan yang paling mendasar yaitu menolak eksistensi penjajah. “Dengan kita hadir saja berarti kita mengakui eksistensi penjajah. Kalau mengakui eksistensi penjajah berarti mengakui penjajahan yang dilakukan oleh penjajah itu. Ini prinsip sekali,” ungkapnya.

Ketika ditanya bagaimana kalau Yahya Staquf datang untuk membawa pesan perdamaian, dengan tegas Ismail mengatakan itu menunjukkan seolah-olah Yahya Staquf tidak tahu reputasi Israel. Israel itu penjajah dengan reputasi bebal. Tidak peduli dengan apa pun kata orang.

“Jangan lagi seorang Yahya Staquf, sekian banyak resolusi PBB bahkan resolusi Dewan Keamanan PBB pun diingkari. Lebih dari 33 Resolusi PBB yang dicuekin Israel, apalagi hanya sekadar diplomasi seorang Yahya Staquf. Jadi yang dikenal oleh Israel itu hanya satu, seperti yang Hamas katakan, yaitu bahasa perang saja!” beber Ismail.

Dan Ismail pun menduga bahwa  Yahya Staquf tidak akan berani mengatakan bahwa Israel itu penjajah dan harus hengkang dari bumi Palestina karena sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Menurut Ismail, dari sisi undangan memang Yahya Staquf diundang bukan sebagai Watimpres, tapi dia tetaplah seoarang Watimpres. Sebagai negara yang dalam konstitusinya menolak penjajahan di muka bumi semestinya dia tidak melakukan itu karena itu sudah melanggar konstitusi.

“Tapi Presiden tidak  aware  terkait yang seperti ini, tidak peduli. Tetapi soal radikalisme peduli sekali, seolah-olah Israel itu bukan penjajah, negara yang sopan santun, lemah lembut. Padahal kalau kita mau lihat contoh negara radikal ya Israel, kalau kita mau melihat contoh negara teroris, zalim, bengis ya Israel. Sementara kepada kelompok yang tidak melakukan kekerasan apa-apa, rezim ini begitu sengitnya,” pungkas Ismail.[] Joko Prasetyo
===
Al-Qur'an & Hadits Bukan Dokumen Sejarah
Oleh: Felix Siauw
Syaitan memang menggoda manusia dengan banyak cara, sebab dia sudah terlatih ribuan tahun, dengan berbagai cara dan strategi yang sudah jelas keberhasilannya

Allah ingatkan dalam Al-Qur'an "Maka syaitan menghias amal-amal buruk mereka", hingga mereka merasa berbuat baik padahal bermaksiat, memperbaiki padahal merusak

Itulah sifat Yahudi munafik, mereka merasa memperbaiki dunia padahal merusak, jangankan bertindak biadab membunuhi manusia, para Nabi saja mereka bunuhi

Maka memenuhi undangan mereka, dengan dalih menasihati adalah bagian tipudaya. Alasannya Musa saja menghadap Fir'aun, padahal jauh dari itu

Musa datang dengan penuh kehormatan, mendakwahi Fir'aun dengan tegas, bahwa dia melampaui batas. Bukan diundang, difasilitasi, untuk berkata yang diinginkan Fir'aun

Lihat saja, ketika diundang dan ditanya sekira begini "Apakah mungkin mengintepretasi Al-Qur'an dengan cara berbeda, agar tidak jadi masalah bagi relasi Islam dan Yahudi?" begitu

Maka dijawab, "Bukan hanya bisa, tapi wajib". Lalu lanjut berkata. "So, the Qur'an and the Hadith, are both basically, a historical document". Innalillahi

Menganggap Al-Qur'an dan Al-Hadits ialah dokumen sejarah. Lalu apa bedanya kita dengan mereka yang menolak Al-Qur'an dengan berkata "itu hanya kisah orang terdahulu", Ya Rabb

Sama saja mengatakan, bahwa apa yang dibuat oleh Rasulullah sebagai pengertiannya terhadap Al-Qur'an tidak lagi relevan dengan masa kini, merasa lebih tau ketimbang Rasul?

Bagi yang begini, Allah ingatkan,

Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu". Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka): "Inilah azab yang dahulu selalu kamu dustakan" - QS Al-Mutaffifin: 13-17

Bagi kita Al-Qur'an dan Hadits adalah wahyu. Penuntun hidup manusia, dan yang paling memahaminya adalah Rasulullah Muhammad dan sahabatnya, dan kita berpegang padanya


https://youtu.be/FNOyj6Soq7Q