Thursday, August 16, 2018

MISI KEMERDEKAAN ISLAM

MISI KEMERDEKAAN ISLAM
(Renungan di Hari Kemerdekaan)

Oleh: Arief B. Iskandar

Rib’i bin Amir melaju cepat dengan kudanya. Menuju perkemahan Rustum. Panglima Pasukan Kerajaan Persia saat itu. Setibanya di sana, ia mendapati para pembesarnya berpakaian kenegaraan. Majelis mereka dihiasi dengan hamparan permadani. Juga sutera yang serba mahal. Rustum duduk di singgasananya. Ia memakai mahkota emas. Dihiasi dengan batu permata yang juga serba mahal. Sebaliknya, Rib’i bin Amir, Panglima Pasukan kaum Muslim itu, hanya berpakaian kasar dan sederhana.

Rib’i bin Amir langsung masuk ke perkemahan itu. Tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Ia tetap menunggang kudanya. Membiarkan kaki kuda itu mengotori haparan permadani yang serba mahal itu.

Tiba-tiba ia berhenti. Ia kemudian turun dari kudanya sebelum sampai di hadapan Rustum yang menanti dirinya. Rupanya, Rustum telah sengaja memasang sebuah palang besi. Setinggi setengah badan. Dengan itu dia berharap Pemimpin Pasukan Muslim itu mau berjalan menghadap dirinya dengan membungkukkan badannya.

Namun, Rib’i bin Amir tak kalah cerdik. Dia membalikkan tubuhnya. Lalu berjalan mundur seraya membungkukkan badannya. Pantatnya menunggingi sang Panglima Persia itu.

Rib’i bin Amir terus berjalan menghadap Rustum. Tetap menyandang tombaknya. Seketika itu pula hamparan permadani itu terkoyak-koyak oleh senjatanya itu. Melihat itu, para pembesar itu marah dan berseru, “Letakkan senjata itu!”

Rib'i menjawab, “Aku datang kemari hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian suka, biarkan aku dalam keadaaanku sepert ini. Kalau tidak, aku pulang.”

“Biarkan dia menghadap!” kata Panglima Rustum.

Rustum lalu mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang mendorong kalian datang ke negeri kami?”

Rib’i bin Amir, yang berdiri tegak penuh wibawa, menjawab dengan tegas, “Kami datang datang untuk memerdekakan manusia. Dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan hanya kepada Allah SWT. Dari kesempitan ke keluasaannya. Dari kezaliman agama-agama ke keadilan Islam.”

Begitulah Ribi’i bin Amir. Ia menjelaskan bahwa kedatangan pasukan Khilafah Islam ke negeri Persia bukan karena ambisi ekonomi atau politik demi mengeksploitasi bangsa/negara yang dikuasai. Sebaliknya, kedatangan pasukan Khilafah Islam mereka membawa misi luhur: Memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan.  Menebarkan kebaikan, rahmat dan hidayah. Menerangi jalan hidup. Juga melenyapkan kezaliman yang membelenggu mereka. Inilah misi kemerdekaan Islam yang mulia. Misi yang diemban Khilafah Islam dalam setiap ekspansi (futuhat)-nya.

Sebelum Rib’i bin Amir, utusan lain yang datang kepada Rustum adalah Mughirah bin Syu’bah. Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Mughirah bin Syu’bah juga menyampaikan jawaban yang sama ketika ditanya Rustum. “Dunia bukanlah tujuan kami. Cita-cita dan tujuan kami adalah akhirat. Allah SWT telah mengutus kepada kami Rasul dan Dia berkata kepada dirinya, ‘Aku telah memberikan kekuasaan kepada kaum ini (kaum Muslim) atas orang-orang yang tidak tunduk pada agama-Ku.’”

Rustum bertanya lagi, “Agama apakah itu?”

Mughirah bin Syu’bah menjawab, “Pilar yang tegak di atas kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah serta pengakuan atas semua yang datang dari-Nya.” (Ibn Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, IV/43).

Fragmen di atas setidaknya memberikan pelajaran berikut:

Politik luar negeri Daulah Islam atau Khilafah Islam adalah dakwah dan jihad. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasululah saw. saat mengepalai pemerintahan Negara Islam di Madnah. Juga oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.

Ekspansi Daulah Islam atau Khilafah Islam tidaklah dimaksudkan untuk tujuan-tujuan duniawi, tetapi juga untuk tujuan-tujuan mulia: menyebarkan risalah tauhid yang substansinya adalah memerdekakan manusia dari penghambaan hanya kepada Penguasa manusia, yakni Allah SWT.

Misi kemerdekaan Islam inilah yang tidak dimiliki negara-negara Muslim saat ini. Bahkan yang mengklaim sebagai Negara Islam seperti Arab Saudi, Iran, Turki dsb. Pasalnya, Islam memang tidak dijadikan sebagai ideologi negara mereka. Islam paling banter hanya menjadi falsafah negara. Dasar negara mereka yang sebenarnya adalah sekularisme (menihilkan peran agama dalam mengatur kehidupan). Wajarlah jika negara-negara Muslim di Dunia Islam—khususnya di Timur Tengah—saat ini tidak memiliki wibawa, bahkan harga diri، di hadapan negara-negara kafir. Para penguasanya cenderung tidak mandiri. Mereka tunduk pada kekuatan negara-negara kafir imperialis. Karena itu alih-alih memiliki misi untuk memerdekakan negeri-negeri Muslim yang terjajah seperti Palestina, misalnya, yang amat dekat dengan mereka. Untuk mencegah negara-negara mereka dari intervensi negara-negara kafir imperialis pun mereka tak berdaya. Apalagi menyebarkan risalah Islam dengan dakwah dan jihad ke seluruh dunia.

Kondisi ini sangat kontras dengan kondisi Negara Islam pada zaman Nabi saw. Juga dengan kondisi Kekhilafahan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin maupun para khilafah setelah mereka. Negara mereka begitu disegani bahkan ditakuti oleh negara-negara besar saat itu: Persia dan Romawi.

Kewibawaan Daulah Islam atau Khilafah Islam di hadapan negara-negara adidaya kafir saat itu antara lain tercermin dari sikap panglima pasukan Muslim, Rib’i bin Amir di atas. Orang-orang seperti Rib’i bin Amir tidak pernah kehilangan nyali ketika berhadapan dengan penguasa negara-negara besar.

Lalu bagaimana dengan Indonesia yang telah merayakan Hari Kemerdekaan untuk ke sekian kalinya?

Sayang. Jangankan memerdekakan bangsa dan umat lain. Memerdekakan dirinya dari ragam intervensi asing pun tak berdaya.

Alhasil, perayaan hari kemerdekaan setiap tahun di negeri ini acapkali hanyalah ritual tanpa arti. Tak bisa membuat kita bangga. Tak dapat memaksa kita membusungkan dada. Dengan sikap sempurna. Kecuali sebatas saat upacara menghormat bendera. Pasalnya, di dunia nyata ternyata semua asing yang punya. Di alam realita kaum imperialis tetap menjarah dan menjajah kita. Jika demikian, pekik merdeka sungguh selamanya akan tetap terasa hampa. []

0 comments:

Post a Comment