Tuesday, January 23, 2018

Kekeringan Spiritual

Oleh:  M Taufik NT

Saya sudah sibuk melakukan ketaatan, juga mengisi berbagai majlis ta’lim, mengapa saya merasa ‘kering’ spiritualitas saya?

***

Berulang pertanyaan senada dengan itu diajukan kepada kami, seolah-olah kami lebih baik dari mereka – moga Allah menjadikan sangkaan mereka benar, kalau tidak benar, moga Allah ubah diri kami hingga menjadi lebih baik dari yang mereka sangka. Kami memberanikan menulis ini dalam rangka menasihati diri kami sendiri, juga semoga memberi manfaat bagi yang lain.


Faktor utama yang menyebabkan mengapa ketaatan yang dilakukan terasa ‘hambar’, kering, dan tidak terasa nikmat adalah karena dosa yang dilakukan.

Mungkin benar bahwa dosa-dosa seperti zina, mabuk, makan yang haram, mencuri, korupsi, menipu, liwath (homoseks) tidak pernah dilakukan, namun kadang orang-orang shaleh sekalipun terjatuh pada dosa-dosa mulut, terlebih lagi dosa hati.

Diriwayatkan bahwa seorang ahli ibadah dari Bani Israil pernah bermunajat kepada Allah, setelah itu dia berkata :

يا رب كم أعصيك ولا تعاقبُني؟

“Ya Allah betapa banyak aku telah bermaksiat kepada-Mu namun Engkau tidak menimpakan balasan atas diriku”.?

Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi yang diutus pada zaman itu :

قل لفلان كم عاقبتُك ولم تشعر؟ ألم أسلُبك حلاوةَ ذكري ولذةَ مناجاتي؟

“Katakan kepada si fulan: “betapa banyak balasan yang telah Aku timpakan kepadamu, sedangkan engkau tidak menyadarinya?. Bukankah Aku telah mengambil darimu manisnya dzikir kepada-Ku dan nikmatnya bermunajat kepada-Ku”. (Faidhul Qâdir, 2/141)[1]

Spiritualitas itu soal rasa, yakni rasa yang tersimpan dalam diri manusia terkait dengan Sang Pencipta, rasa yang muncul akibat kesadaran terhadap hubungannya dengan Allah (idrâk shillah billâh). Jika rasa ini mendominasi seorang muslim, maka ia akan senantiasa hidup dalam suasana iman, baik dia sedang sholat, berdzikir, berdakwah, menuntut ilmu, termasuk juga ketika dia bekerja, berjual beli, melakukan perjalanan, dll. Rasa seperti ini akan membuatnya tunduk kepada seluruh syariah Allah SWT dengan perasaan ridlo dan tenteram, baik syari’ah tersebut terlihat ‘menguntungkan’ dirinya atau terlihat ‘merugikannya’.

Hanya saja rasa seperti ini kadang dominan, kadang berkurang dan bahkan bisa hilang. Ini terjadi ketika ada rasa lain yang lebih mendominasi lubuk hati, yakni ketika kesadaran akan hubungan dengan Al Khaliq dikalahkan oleh ‘kesadaran’ akan hubungan dengan makhluq.

Sebagaimana kopi itu bisa manis atau pahit tergantung mana yang lebih dominan. Jika gula lebih dominan dari kopi, maka manislah yang terasa, sebaliknya jika kopi lebih dominan daripada gula, pahitlah rasanya, begitu pulalah keadaan ruhiyah (spiritualitas) seseorang, akan terasa kering jika ‘kesadaran’ akan hubungan dengan makhluq lebih dominan daripada kesadaran akan hubungannya dengan Al Khaliq, Allah ‘Azza wa Jalla.

Ketika kesadaran akan hubungan dengan Allah tidak dominan, atau bahkan hilang pada diri seseorang, maka banyaknya ibadah, aktivitas dakwah, dan berbagai aktivitas ketaatan lainnya bisa melahirkan perasaan ‘ujub (merasa besar dan berbangga diri), lalu meremehkan orang lain. Hilang kesadarannya bahwa ketaatan yang dia lakukan adalah semata-mata terjadi karena karunia Allah, lupa bahwa belum tentu yang dilakukannya diterima Allah, dan ini termasuk dosa hati.

Rasa lain yang juga bisa mendominasi, hingga bisa ‘mengeringkan’ spiritualitas seseorang adalah perasaan bahwa dia telah berjasa, baik terhadap dakwah, maupun terhadap orang lain, merasa bahwa tanpa dirinya maka Islam akan sulit berkembang, dengan ketaatan dan aktivitas dakwahnya dia merasa telah memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada orang lain, baik itu muridnya maupun guru (musyrif)nya.

Allah menegur perasaan seperti ini, dengan firman-Nya:

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar” (QS. Al Hujurât: 17)

Ayat ini terkait dengan Arab Badui yang masuk Islam, lalu membantu perjuangan Rasulullah. Tidak diragukan lagi bahwa keislaman dan bantuan mereka tentu sangat menggembirakan Rasulullah dan orang-orang yang beriman, sebagaimana kita juga tentu gembira jika ada orang yang tercerahkan, ini adalah fakta. Hanya saja Allah tetap menegur mereka, bukan karena keislaman dan bantuan mereka, namun karena perasaan mereka yang tidak tepat, seharusnya harus merasa bahwa merekalah yang telah mendapat karunia dan nikmat Allah dengan tertunjukinya mereka kedalam Islam, bukan sebaliknya.

Oleh sebab itu, ketika kita merasakan ‘kekeringan’ spiritual, padahal sudah banyak aktivitas ketaatan (fisik) yang kita lakukan, maka yang seharusnya dilakukan bukanlah dengan mengurangi ketaatan tersebut, namun yang dilakukan adalah lebih banyak merenungi diri, mencermati diri kita sendiri, sudahkah semua yang kita lakukan itu didominasi oleh kesadaran kita akan hubungan kita dengan Allah, ataukah ada unsur lain yang mendominasi aktivitas kita, seperti ingin dikenal, mengejar popularitas, melakukan sesuatu hanya karena terpaksa karena tidak enak dengan teman, atau merasa bahwa tanpa kita dakwah tidak akan berkembang.

Jika kita merenungi diri, insya Allah perasaan-perasaan tersebut akan sirna, tergantikan oleh rasa syukur kepada Allah, rasa penuh harap akan ampunan-Nya karena hati kita kadang lalai saat menghadap-Nya, sekaligus rasa takut kepada-Nya karena ketidaktahuan kita apakah Dia ridha atau tidak.

Inilah yang terungkap dari para ‘ulama yang shalih ketika mereka merenungi diri mereka. Imam al Hasan al Bashri (w. 110 H) misalnya, beliau ‘mencela’ dirinya sendiri ketika merenung, dengan mengatakan:

تتكلمين بكلام الصالحين القانتين العابدين، وتفعلين فعل الفاسقين المنافقين المرائين، والله ما هذه صفات المخلصين

“engkau berbicara dengan perkataan orang-orang shalih, ta’at dan ahli ibadah, sementara prilakumu adalah prilaku orang fasiq, munafiq, dan suka pamer, demi Allah, ini bukanlah sifat orang-orang yang ikhlas” (Ghoutsun Naf’i fi Qirô’âtis Sab’i, hal 655. Maktabah Syamilah).

Imam an Nawawi (w. 676 H), ketika mengetahui akan didatangi penguasa bada hari beliau mengkaji ilmu, maka beliau membatalkan kajiannya pada hari itu karena khawatir penguasa melihat beliau sedang dalam pertemuan kajian (karena akan sulit menata hati ketika majelisnya disaksikan oleh pembesar negara).

Al Anthoky mengatakan:

من طلب الإخلاص في أعماله الظاهرة وهو يلاحظ الخلق بقلبه فقد رام المحال

“barang siapa menginginkan keikhlasan dalam amal-amalnya yang nampak, sementara hatinya memandang kepada makhluq, maka sungguh dia menghendaki hal yang mustahil” (Ghoutsun Naf’i fi Qirô’âtis Sab’i, hal 656)

Memang berat melakukan ‘olah rasa’, namun tidak ada cara lain selain berupaya, senantiasa menengok hati kita sendiri, adakah di sana sifat-sifat tercela itu?, jika ada, berusahalah kita menghilangkannya, atau mintalah Allah ‘menggantinya’ dengan hati yang baru, jika tidak ada, periksalah ulang, jangan-jangan kita saja yang tidak merasa. Allâhu A’lam.

0 comments:

Post a Comment