Thursday, January 18, 2018

Kewajiban Pemimpin dalam Islam

Oleh: ust. M Taufik NT

Walaupun pemilu Presiden 2019 masih jauh, namun hiruk-pikuk ‘perebutan’ pengaruh untuk berkuasa sudah terasa, padahal kekuasaan bukanlah sesuatu yang layak untuk diperebutkan. Rasulullah shallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَةِ، فَنِعْمَ المُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الفَاطِمَةُ

“kalian akan rakus terhadap kekuasaan, padahal kekuasaan itu akan menjadi penyesalan di hari kiamat (bagi yang tidak menjalankan kewajibannya), ia adalah senikmat-nikmat penyusuan dan segetir-getir penyapihan.”[1] (HR. al Bukhari dari Abu Hurairah)

Sahabat Abu Dzar al-Ghifari r.a pernah menawarkan diri untuk diangkat menjadi penguasa daerah. Sambil menepuk pundak sahabatnya ini, Rasulullah menjawab:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah, dan sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu amanah, dan pada hari kiamat jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya”. (HR. Muslim).

Kekuasaan akan menghinakan seseorang jika dia mendapatkannya dengan cara yang tidak benar: menebar fitnah kepada lawan kepentingan, menyogok rakyat untuk memilihnya, menebar hoax untuk membangun citra dirinya, menebar janji-janji yang dia tahu tidak akan mampu merealisasikannya, membangun koalisi tanpa landasan Islam, ataupun melakukan keharaman lainnya dalam rangka meraih kekuasaan tersebut.

Di sisi lain, walaupun seseorang memperoleh kekuasaan dengan cara yang benar, kekuasaan tersebut tetap akan menjadi kehinaan dan penyesalan jika dia tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas, tanggungjawab dan kewajibannya sebagai pemegang kekuasaan.

Imam al Mawardi (w. 450 H), seorang ‘ulama besar dalam Madzhab as Syafi’i, dalam ‘al Ahkâm as Sulthôniyyah menjelaskan 10 tanggung jawab dan kewajiban seorang penguasa (kepala negara), ringkasnya adalah sebagai berikut:

Pertama: menjaga Islam agar senantiasa berada di atas pondasinya, dan di atas apa yang telah disepakati oleh generasi terdahulu dari umat ini.

Kedua, menerapkan hukum di antara mereka yang berselisih, melerai permusuhan yg terjadi antara mereka yg bersengketa hingga tersebarlah keadilan.

Ketiga, melindungi kesucian serta menjaga kehormatan, agar rakyat dapat beraktifitas dalam kehidupan mereka, dan bepergian kemanapun secara aman dari tindakan penipuan terhadap jiwa atau hartanya.

Keempat, menerapkan hudud (hukum-hukum Allah) untuk menjaga larangan-larangan Allah dari penodaan, serta menjaga hak-hak hamba-Nya dari kerusakan dan eksploitasi.

Kelima, membentengi perbatasan dengan jumlah pasukan yang mampu memberikan perlindungan hingga musuh tidak menguasai secuilpun tanah perbatasan, menodai kesucian padanya, atau menumpahkan darah seorang muslim atau kafir mu’ahid di dalamnya.

Keenam, memerangi siapa saja yang menentang Islam setelah mereka menerima seruan dakwah, hingga mau berIslam atau mau masuk dalam dzimmah (sebagai kafir dzimmi), guna menegakkan hak Allah SWT dalam memenangkan Islam atas seluruh agama lainnya.

Ketujuh, memungut harta fai’ dan berbagai macam zakat berdasarkan apa yang telah diwajibkan oleh syara’ melalui nash atau berdasarkan ijtihad, tanpa rasa takut dan tanpa berlaku zalim.

Kedelapan, menetapkan anggaran pengeluaran dan apa-apa yang sudah menjadi hak dalam baitul mâl, tanpa berlebihan dan tidak pula kikir, membayarkan pada waktunya tanpa memajukannya dan tidak pula mengakhirkan.

Kesembilan: mengangkat para pemegang amanah yang memiliki kafa’ah (kapabilitas) dan mengangkat para penasihat pada tugas-tugas yang besar, dan pada tanggung jawab yang berat menyangkut harta.

Kesepuluh, menangani sendiri secara langsung pemantauan dan pengurusan terhadap berbagai urusan, dan senantiasa mencari tahu kondisi yang terjadi; agar dia bangkit dalam mengurus urusan-urusan umat dan menjaga agama, tidak terlalu mengandalkan pembantunya dalam menunaikan tugas sementara dia menyibukkan diri dengan kenikmatan-kenikmatan jasadiyah atau ibadah, karena adakalanya orang yang dipercaya itu berlaku khianat dan penasihat itu berbuat culas.

Jika seseorang, walaupun dia mendapatkan kekuasaan dengan benar, namun dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik, tidak menerapkan hukum-hukum syari’ah Allah malah mengkriminalisasikannya, tidak menjaga Islam namun malah mengotorinya, maka pada hakikatnya dia telah menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam lubang kehinaan dan kehancuran. Bagaimana mungkin berharap dia membangun negara jika dirinya sendiri dibiarkan celaka?

Lihatlah demi menjalankan tugasnya untukmenjaga hukum Islam, Khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a mempertaruhkan negara, bahkan nyawanya. Negara boleh lenyap, nyawa boleh melayang, namun hukum syara’ tidak boleh ‘dimutilasi’ seenaknya. Pada saat yang sulit, karena menghadapi serangan orang-orang murtad, ada sebagian kabilah yang mau mengingkari kewajiban zakat, terhadap mereka dengan tegas Abu Bakar r.a berkata:

لو منعوني عِقالا لجاهدتهم عليه

“Kalau mereka menghalangiku dari (mengambil) zakat, sungguh kuperangi mereka”

Mendengar hal tersebut, Umar r.a berkata:

: يا خليفة رسول الله – صلى الله عليه وسلم – تَألَّف الناس وارفُقْ بهم

“wahai khalifahnya Rasulullah, bersikap lembutlah kepada manusia”

Dalam perhitungan militer, saat orang-orang murtad menyerang Madinah, kalau orang yang tidak mau membayar zakat dibiarkan saja, tentu ‘akan mengurangi musuh’, yang dihadapi tinggal musuh yang benar menyerang Madinah. Namun Abu Bakar r.a lebih mengutamakan tegaknya hukum syara’ daripada negara, bahkan nyawanya!, beliau berkata:

أجبّار في الجاهلية وخوّار في الإسلام ؟ إنه قد انقطع الوحيُ وتم الدين أينقص وأنا حي ؟

“apakah engkau keras semasa jahiliyah, dan lemah dalam Islam (wahai ‘Umar)? Sesungguhnya wahyu telah terputus, dan agama ini telah sempurna, apakah agama ini akan berkurang (padahal) aku masih hidup?” (Mirqâtul Mafâtîh, 9/3890).

Abu Bakar r.a benar-benar melaksanakan apa yang Allah perintahkan:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al Maidah : 49)

Kehati-hatian beliau telah menjadikan beliau mempertaruhkan nyawanya sekalipun demi menjaga satu hukum Islam tetap tegak, hanya satu hukum. Jika banyak hukum diingkari, bagaimana kira-kira nasib seorang penguasa kelak di akhirat jika dia hanya berpangku tangan?, padahal ditangannyalah wewenang untuk menjaga dan melaksanakannya? Allahu A’lam. [M. Taufik NT]

0 comments:

Post a Comment